"Honesty is the Best Policy Politics"

Rabu, 10 Agustus 2011

Stop Sementara Dana Otsus Bagi Papua

Oleh : John J Boekorsjom | 21-Feb-2010, 17:12:33 WIB
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=8&jd=Stop+Sementara+Dana+Otsus+Bagi+Papua&dn=20100220234328

KabarIndonesia - DANA OTSUS BAGI PAPUA"Hentikan Sementara Aliran Dana Otsus Papua, Perbaiki Regulasi dan Sistemnya"
Pasal 34 ayat (3) huruf  c angka   6) Penerimaan dalam rangka Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berlaku selama 20 (dua puluh) tahun.
Selama ini diberbagai media mengungkapkan permasalahan penyalahgunaan  dana Otsus Papua namun belum ada tindakan nyata dari pemerintah baik pusat dan daerah meluruskan dalam regulasi maupun sistemnya. pemerintah pusat selalu menjawab bahwa telah memberikan UU Otsus dan Dana Otsus bagi Papua berarti mereka ada kewenangan  bisa mengaturnya namun pemerintah pusat lupa bahwa adanya ketidak konsistenan implementasi uu otsus tersebut dan terjadi pelemahan dalam mengimplementasikan dikarenakan hampir semua pasal dalam uu tersebut harus dieksekusikan dengan peraturan pelaksananya.

Hal tersebut seakan-akan terjadi pembiaran terhadap, disatu sisi bila ini dibiarkan saja maka akan menjadi bumerang bagi pemerintah pada suatu saat nanti. Dana Otsus Papua adalah untuk membangun orang asli papua dalam mengejar ketertinggalan dari saudara saudaranya. Sehingga hal inilah yg merupakan afirmatif dan proteksi dalam hal keberpihakan dana pembangunan bagi orang asli papua.

Sudah saatnya Pemerintah (pusat) melakukan penghentian sementara aliran dana otsus ke Papua dan melakukan intervensi untuk mempersiapkan berbagai regulasi yang dibutuhkan dan system mengimplementasi pemanfaatan dana Otsus sesuai dengan amanatnya.

Dana Otsus papua mempunyai keterbatasan waktu yaitu selama 20 tahun dan sisa 11 tahun lagi, bila dilihat dari pelaksanaan selama 9 tahun ini sasaran untuk membangun kesehatan, pendidikan dan ekonomi kerakyatan bagi orang asli papua  belum sesuai dengan amanat UU Otsus tersebut.

Maka sudah waktunya Pemerintah (pusat) menghentikan sementara pencairan Dana Otsus yg tinggal 11 tahun kedepan untuk memperbaiki regulasi dan sistemnya agar sesuai dengan amanat UU Otsus Papua dalam meningkatkan kesejahteraan orang asli papua. Bila hal ini tidak menjadi perhatian pemerintah pusat maka dana otsus papua akan menjadi sia-sia dalam mencapai tujuannya dalam mengangkat kesejahteraan bagi orang asli papua dan merajut rangkaian keutuhan NKRI.

6 Tahun Otonomi Khusus Papua dan 2 Tahun Majelis Rakyat Papua

Oleh : John J Boekorsjom | 06-Mar-2008, 03:07:10 WIB
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&jd=6+Tahun+Otonomi+Khusus+Papua+dan+2+Tahun+Majelis+Rakyat+Papua&dn=20080305155815

KabarIndonesia - Seturut dengan 2 Tahun hadirnya Majelis Rakyat Papua, Pemerintah Provinsi Papua telah melakukan evaluasi pelaksanaan Otonomi Khusus di Papua yang dilaksanakan oleh BAPPEDA Provinsi Papua bekerjasama dengan Universitas Cenderawasih Papua.

Refleksi kehadiran OTSUS di Tanah Papua lahir dengan perdebatan yang sangat panjang antara Masyarakat Papua dengan Pemerintah (Pusat dan Daerah). Di sisi Masyarakat Papua hanya satu keinginan yaitu Melepaskan diri dari NKRI, disisi pemerintah menawarkan pemberlakuan khusus otonomi. Perdebatan ini akhirnya melahirkan solusi yaitu UU Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua.

Pelaksanaan OTSUS berjalan tersendat-sendat karena Pusat sendiri ragu dan ketakutan terhadap UU yang telah disyahkan pusat. Ini terlihat dengan pembentukkan Lembaga MRP yang PP baru dikeluarkan pada tahun 2003 itupun karena desakan dari Papua. Pelaksanaan OTSUS tahun pertama dibawah komando Alm J. Solosa dan C. Karma selaku Gubernur dan WAGUB dan John IBO dkk selaku ketua DPRD Provinsi Papua berjalan diatas inovasi coba coba dan banyak permasalahan.

Permasalahan yang dimaksud adalah sikap penolakan OTSUS dari masyarakat Papua masih terus berlanjut, keengganan Pusat mengeluarkan PP tentang lembaga MRP, dan issu pengaktivan pembentukan Provinsi IJB.

Ini semua berjalan dengan penuh tantangan dan hambatan. Tanpa mengurangi hasil evaluasi namun kenyataan yang dilihat adalah secara regulasi, Lahirlah Peraturan Pemerintah tentang MRP; Infrastruktur jalan Sorong - Ayamaru tembus, Sorong - Makbon Tembus, Nabire - Paniai tembus, Perhubungan laut hadirnya kapal Papua 1 - 4 yang melayari perintisan; Pendidikan lahirnya Fakultas Kedokteran UNCEND dan infrastruktur dibeberapa daerah kabupaten pemekaran.

Namun semua ini juga tidak terlepas dari kekurangan kebocoran penggunaan dana OTSUS tersebut.Semua yang telah dilalui selama 5 tahun atau 6 tahun berjalan, Otonomi Khusus perlu di seriusi oleh semua pihak untuk dilaksanakan secara komitmen dan konsisten. Untuk itu, perlu diambil keputusan bersama tentang DEFENISI PAPUA ASLI, mengapa? Karena OTSUS hadir untuk masyarakat Papua Asli maka penjelasan tentang papua asli itu penting, sehingga setiap tahun dapat dievaluasi seberapa banyak papua asli yang diberdayakan.

Dana Otonomi Khusus harus dipisahkan pengelolaannya dari APBD, karena dengan demikian arah penggunaan dan pertanggungjawaban dana Otonomi Khusus tersebut akan lebih transparan, nyata, dan terarah. Ini karena dana OTSUS adalah dana percepatan pembangunan pendidikan, kesehatan dan Gisi serta infrastruktur dasar untuk mensetarakan papua asli dengan saudara-saudaranya didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan pemisahan dana OTSUS ini maka Peranan MRP didalam mengawali dan mengawasi implementasi dana Otsus akan berperan.

Lembaga MRP harus segera mengambil langkah langkah untuk mengfungsikan lembaga tersebut sesuai dengan amanat OTSUS. Langkah yang perlu diambil selain membangun komunikasi politik bersama antara Gubernur dan DPRP adalah membentuk panitia adhock Hukum bagi MRP dengan tugas menyiapkan draft-draft aturan pelaksana fungsi MRP. Keanggotaaan panitia adhock ini terdiri dari pakar hukum, perwakilan mantan Tim Asistensi Otsus dan tokoh-tokoh pemerintahan lokal (para mantan bestuur).

Pemerintah Provinsi dan DPRP harus segera mengevaluasi amanat otsus khusus tentang regulasi, sehingga ada kemauan bersama untuk mempercepat lahirnya aturan aturan pelaksanaan bagi OTONOMI KHUSUS. Antara lain tentang Pelurusan Sejarah Papua dalam NKRI, Partai Lokal Papua, Komisi Ham Papua dan lain-lain. Disamping itu perlu ditindak lanjuti perubahan nama Kecamatan menjadi Distrik dan Desa menjadi Kampung. Karena Perubahan nama tersebut berjalan namun muatan muatan fungsi dari perubahan nama tersebut belum ada.

Selain semua diatas, perlu adanya kesepakatan bersama baik pemerintah daerah, DPRP, MRP dan masyarakat Papua untuk menetapkan dan menyusun Visi dan Misi 25 Tahun Otonomi Khusus yang kemudian di Jabarkan dalan Rencana Strategi OTSUS yang kemudian menjadi Guide's bagi pelaksanaan pencapaian Tujuan OTSUS tersebut. Visi dan Misi 25 Tahun Otonomi Khusus tetap harus mempunyai benang merah dengan RPJP Provinsi dan RPJP Nasional.Saling menyalahkan dan saling mencurigai akan menghancurkan OTSUS itu sendiri. Selamat Berkarya.

T.S. Boekorsjom, Pejabat Bupati Jaman Belanda

Ditulis oleh iim    Rabu, 15 Juli 2009 04:52
http://bintangpapua.com/kab-jayapura/1246-ts-boekorsjom-pejabat-bupati-jaman-belanda

Hati Kecilnya Tak Mau Terima"Pejabat sekarang enak. Diberi fasilitas macam-macam. Ada rumah, mobil dinas dan tunjangan-tunjangan lain. Tapi pelayanannya ke masyarakat sungguh mengecewakan."

Umurnya hampir 80 tahun. Kepalanya botak. Fisiknya masih segar. Tidak bungkuk seperti layaknya orang-orang tua. Bahkan ia tak berkacamata, menandakan tak ada kerabunan di masa tuanya itu. Pakaiannya cukup sederhana, tidak berjas seperti pejabat sekarang.
Bahasanya Indonesianya patah-patah. Padahal dia orang asli Papua. Maklum, dari kecil hingga tua ia selalu menggunakan bahasa Belanda.
Ia adalah TS Boekorsjom. Merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan Jayapura dan Papua yang masih hidup. Satu-satunya orang pribumi yang bisa menduduki jabatan setingkat Bupati pada masa penjajahan Belanda.
Jumat siang ia diundang Bupati Jayapura, Habel Melkias Suwae untuk memberikan pencerahan kepada jajaran pejabat-pejabat di daerahnya. Tak ketinggalan kepala-kepala distrik turut mendengarkan petuah dari T.S. Boekorsjom.
Lalu apa katanya saat dihadapan pejabat-pejabat di lingkungan Kabupaten Jayapura?
"Kalau saya membandingkan, merasakan dan lihat, pemerintahan dahulu dengan sekarang  sangat jauh berbeda. Dalam hati kecil saya pribadi sangat tidak terima," ujarnya.
Ia memberikan perbadingan dengan masanya dulu.
"Dulu kami pejabat sangat memperhatikan pelayanan kepada masyarakat. Meski kami tidak diberi fasilitas tapi kami bekerja sangat tulus demi kepuasan masyarakat," terbata-bata ucapannya dalam Bahasa Indonesia.
Bahkan, kata T.S. Boekorsjom, untuk memberikan pelayanan terbaik ke rakyat, jalan kaki ditempuhnya.
"Kami selalu mengedepankan nilai-nilai kejujuran, kesetiaan dan kemauan keras untuk membangun Jayapura pada masa itu," katanya.
Jabatan pada masa itu, kata T.S. Boekorsjom, adalah amanah yang perlu diemban dengan sebaik-baiknya. Tak pernah ada keluhan meski digaji kecil.
"Tapi sekarang, dengan fasilitas yang serba lengkap dan modern, namun tak ada keberhasilan untuk mensejahterakan masyarakat," keluhnya.
T.S. Boekorsjom memang sulit menerima kenyataan itu. Tapi inilah yang saat ini terjadi di pemerintahan jaman sekarang. [iim]

BTC Jalan Pintas Bangun Ekonomi Perbatasan

Thursday, 04 February 2010 00:15 administrator Hits: 715
http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/jubi-utama/5158-btc-jalan-pintas-bangun-ekonomi-perbatasan.html

Pasar SEHITO kalah bersaing dan hanya tinggal nama (JUBI/FOTO Ardiansyah)


JUBI— Secara sepintas melihat aktifitas perdagangan di tapal batas PNG dan Indonesia Provinsi Papua jarang terlihat aktivitas pedagang local Papua. Selebihnya pedagang non Papua, sebab banyak kebutuhan sembako dipasok oleh mereka.
“Perlu ada Border Trade Center (BTC) yang dibangun di Ibukota Distrik Muara Tami agar bisa menguntungkan semua pihak baik warga PNG, pedagang asli Papua, Pemerintah Kota Jayapura, Keerom dan juga Provinsi Papua serta aparat keamanan dan pemilik tanah adat,”ujar John Boekorsjom bekas Kasubdin Wilayah Perbatasan Bappeda Provinsi Papua kepada Jubi  pekan lalu di Jayapura.
Lebih lanjut urai Boekorsjom mahasiswa program doctoral Universitas Pajajaran Bandung itu pusat perdagangan itu harus dibangun di Ibukota Distrik Muara Tami agar bisa berkembang dan memberikan ruang bagi masyarakat setempat.
“Coba tengok apa yang dilakukan Pemerintah Malaysia di Serawak, mereka bukan membangun BTC di perbatasan Entikiong tetapi masuk ke wilayah ibukota distrik terluar di perbatasan RI dan Malaysia. Mereka tahu Orang Indonesia suka berbelanja jadi ditariklah pusat perbelanjaan ke pusat distrik dan bukan sampai ke Kucing ibukota Serawak,”ujar Boekorsjom.
Menurut Boekorsjom  pengalaman pemerintah Malaysia di Serawak untuk menarik warga Indonesia berbelanja bisa juga dilakukan di Distrik Muara Tami dan  memberikan ruang agar warga PNG khususnya dari Provinsi Sandaun Vanimo bisa membelanjakan uang Kina mereka di wilayah Indonesia.
Jadi di dalam BTC lanjut Boekorsjom semua pihak bisa terlibat mulai dari masyarakat kecil penjual pinang sampai dengan mereka yang bermodal besar termasuk pihak aparat keamanan.“Pasalnya selama ini transaksi yang dilakukan di tapal batas jelas tidak memberikan sumbangsih yang berarti bagi pemerintah mulai dari retribusi dan pungutan-pungutan lainnya bagi pendapatan asli Kota Jayapura,”tutur Boekorsjom.
Selain di wilayah Distrik Muara Tami lanjut Boekorsjom sebaiknya pula dilakukan pembangunan BTC di Distrik Waris Kabupaten Keerom. “Masyarakat di wilayah perbatasan Waris juga bisa datang membeli dan menjual hasil bumi mereka di BTC Waris,”kata Boekorsjom.
Soalnya lanjut Boekorsjom  dengan memakai pola BTC merupakan jalan pintas untuk memangkas aturan-aturan yang selama ini dianggap sulit dan merupakan wewenang antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).
Peluang aturan yang bisa digunakan mungkin adalah hubungan kekerabatan antara PNG dan warga Papua di Skouw, Waris dan Arso.”Ini bisa menjadi jembatan untuk mencairkan perbedaan warga negara yang selama ini dianut oleh kedua warga di sepanjang perbatasan RI dan PNG.,”ujar dia.
Pasar Sehito dibangun Pemerintah Kota Jayapura sekitar 2002. Pasar ini  sebenarnya merupakan harapan dari masyarakat di Kampung Skouw Mabo, Skouw Sae dan Skouw Yame. Namun dalam pemanfaatan belum benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Belakangan justru Pasar Sehito tidak digunakan lagi, karena kalah bersaing dengan Pasar Kaget di Tapal Batas.
Pantauan Jubi di lapangan pekan lalu, Pasar Sehito tak digunakan lagi yang tampak hanya rumput dan semak belukar. Dulunya Pasar Sehito ini sangat ramai dikunjungi kalau hari pasar setiap Sabtu, tampak mama-mama asal Kampung Skouw Mabo, Skouw Yame dan Skouw Sae datang berjualan di situ. Kini semuanya tinggal kenangan.
Perdagangan di tapal batas RI dan PNG pertama kali dilakukan oleh Pemda Provinsi Papua dan Kadin Pronvinsi Papua pada 2004 dan 2005. Perdagangan di tapal batas itu bertajuk Crismast Border karena bertepatan dengan Hari Natal. Aktivitas ini dimaksudkan oleh para penggasnya untuk memotifasi lahirnya pasar kaget yang mengakomodir 106 (seratus enam) pedagang.
Padahal kalau disimak sebenarnya lokasi pasar ini bertentangan dengan Perda No. 16/1995 tentang RTRW Kota Jayapura, bahwa 5 km dari tapal batas  adalah zona netral (buffer zone).
Kehadiran Pasar Kaget ini banyak mengundang protes terutama dari masyarakat lokal di daerah perbatasan yang merasa tidak memperoleh manfaat apapun.
Ondoafi Kampung Skouw Jans Mallo kepada Jubi pekan lalu menambahkan kehadiran pasar kaget di perbatasan jelas merugikan masyarakat di kampungnya.“Mama-mama kalau mau jualan di sana sangat mahal ongkos transportasi dan juga mereka tidak mungkin menjual sembako karena memerlukan modal besar,”ujar Jans Mallo mengeluh.
Bukan hanya soal pasar saja yang dikeluhkan Mallo, lampu penerangan listrik belum masuk ke Kampung Skouw Mabo yang letaknya tidak jauh dari Kantor Distrik Muara Tami.“ Peneragangan hanya stop sampai di Koya Barat dan Koya Timur saja,”ujar Mallo.
Agus Mallo, salah satu tokoh mantan Kepala Kampung Skouw Mabo menambahkan, sebagai salah satu distrik dari Kota Jayapura, seharusnya Muara Tami memiliki fasilitas pelayanan publik yang maju.
“Tetapi, sampai sekarang penerangan hanya sampai di Koya Timur, daerah lainnya hidup di kegelapan,” ujarnya.
Distrik Muara Tami yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota itu seperti dianaktirikan.Wilayah yang sangat dekat dengan perbatasan RI-PNG ini seharusnya menjadi fokus pembangunan pemerintah Provinsi Papua  dan juga Pemerintah Kota Jayapura sehingga masyarakat merasa nyaman sebagai penduduk wilayah Indonesia.
Jans Mallo yang juga Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Muara Tami menambahkan seharusnya pemerintah harus membangun pasar kaget di dekat Distrik Muara Tami agar masyarakat bisa lebih dekat menjual hasil bumi mereka.
Mallo juga mengakui areal lahan di sebelah Kali Tami merupakan hak adat dari masyarakat Wutung dan pemiliki tanah adalah paitua Sostenes warga Kampung Wutung. “Walau daerah itu secara administrasi masuk ke wilayah NKRI tetapi dalam hak ulayat  tanah menjadi miliki mereka yang tinggal di Kampung Wutung,”ujar Mallo.
Pendapat senada juga dikatakan Simon Munauli warga Kampung Wutung yang punya hubungan saudara dengan warga Kampung Skouw  Mabo dan Skouw Yame.“Saya punya saudara di Kampung Sokuw bermarga Reto,”tegas Simon Munauli. Lebih lanjut jelas Simon biasanya kalau ada pembayaran mas kawin atau pesta adat lainnya warga Wutung akan berkunjung ke saudara mereka di Kampung Skouw.
Pantauan Jubi di lapangan, lebih banyak warga PNG yang melintasi perbatasan menuju wilayah Indonesia jika dibandingkan dengan warga dari Provinsi Papua ke negara tetangga PNG. Warga PNG umumnya lebih banyak membelanjakan uang Kina untuk membeli kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula dan juga barang elektronik dan bahan sandang.
Jimmy Wanayu warga Vanimo asal Kampung Yilui  atau Yilui Village bersama istri dan seorang anaknya  datang ke pasar tapal batas untuk membeli dua karung beras 10 kg dan peralatan rumah tangga lainnya. “Beras di sini harganya jauh lebih murah. Kalau belanja di Vanimo ibukota Provinsi Sandaun PNG.  10 Kg beras harganya 36,75 Kina sedangkan di pasar kaget  tapal batas  hanya 22,60 Kina,”ujar Jimmy yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan di Vanimo. Dia menambahkan kalau berasnya sudah habis akan kembali lagi untuk membeli. “Kita biasa makan nasi selama dua minggu atau tiga m inggu kalau sudah habis kembali lagi untuk membeli 20 kilogram beras,”ujar Jimmy.
Bukan hanya membelanjakan uang Kina ke pedagang Indonesia di tapal batas saja yang biasa dilakukan warga PNG. Ada beberapa warga PNG dari Kampung Wutung yang letaknya tidak jauh dari tapal batas sering berjualan di lokasi tapal batas. Warga PNG hanya menjual baju kaos, topi, dan minuman ringan serta makanan ringan. Tak ketinggalan mama-mama PNG juga menjual pinang dan harganya sekitar 2 Kina (Rp 6000,-). “ Mama mi laik kai-kai buay,”tanya Jubi kepada mama penjual pinang asal PNG. “Ok plis you kai-kai, oke yu pai, only  2 Kina,”jawabnya.
Aktifitas perdagangan warga PNG bukan hanya di Distrik Muara Tami saja tetapi juga di Distrik Waris Kabupaten Keerom. Warga PNG di Kampung Imonda,Wasanglah dan Amanap juga sering melintasi batas negara ke Distrik Waris untuk menjual buah cokelat dan juga membeli bahan-bahan makanan seperti beras dan gula. Bahkan menurut Post Courier yang dikutip Jubi menyebutkan sebagian besar kaum warga di daerah  pemilihan Vanimo-Green yaitu Kampung Green River, Kampung Amanab, Kampung Imonda dan Kampung Bewani  jarang berkunjung atau belum pernah melihat  kota Vanimo ibukota Provinsi Sandaun Papua New Guinea (PNG). Pasalnya transportasi jalan darat ke ibukota Provinsi Sandaun belum rampung sehingga mereka lebih mudah berkunjung ke Jayapura. (JUBI/DAM,Ronald/dari berbagai sumber)

Sudah Saatnya Papua Buat Produk Bubuk Cokelat

JUBI --- Mahasiswa program Doktoral Universitas Pajajaran Bandung John Boekorsjom mengatakan sudah saatnya Provinsi Papua harus meningkatkan produksi cokelat dari bahan baku menjadi produk bubuk cokelat atau bahan setengah jadi.

"Selama ini, Papua hanya sebagai penyedia bahan baku semata dan belum mengelolanya dari buah cokelat menjadi produk setengah jadi atau bubuk cokelat," ujar Boekorsjom di Jayapura, Rabu (3/2).

Ditambahkan, sejak Belanda mulai membuka lahan perkebunan Cokelat di Genyem, Lembah Nimboran 1956 hingga sekarang, produksinya masih berupa cokelat kering dan basah. "Mestinya sekarang ini harus ada peningkatan bukan tetap menjual biji cokelat saja.”

Secara terpisah Nehemia Iwong, mantan staf uji mutu Irian Jaya Joint Develepment Foundatin (IJJDF) kepada Jubi di Genyem, Selasa (2/2) mengatakan, proyek penanaman cokelat di Nimboran dimulai sejak 1956 sampai 1963. "Pada 1964 sampai dengan 1970 tidak ada aktifitas penanaman kembali cokelat akibat perubahan politik di tanah Papua," ujar Iwong.

Ditegaskan pada 1976 sampai 1991, aktifitas penanaman cokelat dimulai di Nimboran tetapi tidak sebagus jaman Papua masih dijajah Belanda. "Saya heran setelah kita Merdeka semangat masyarakat untuk menanam cokelat menurun dan sudah tak berdaya lagi," ujar Iwong. (Dominggus Mampioper)

Cokelat Nimboran Sejak Belanda

Wednesday, 27 January 2010 02:28 administrator Hits: 1342
http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/tong-pu-tanah/4953-cokelat-nimboran-sejak-belanda.html




JUBI---Saat ini pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan program agropolitan dengan kakao sebagai komoditas andalan. Namun, sesungguhnya Distrik Nimboran  sudah dibuka sebagai kawasan perkebunan cokelat di era pemerintahan Belanda. Juga  koperasi berbasis rakyat.
Masyarakat Nimboran, Kabupaten Jayapura telah lama mengenal tanaman cokelat. Mereka berhasil mengekspor sampai ke Belanda, khususnya ke pabrik cokelat Van Houten. Apalagi jenis kakao setempat  berkualitas tinggi dan tahan hama penyakit.
“Saat ini jenis kakao di Zaman Belanda dicari lagi karena kualitasnya bagus,”tutur John Boekorsjom yang pernah meneliti kakao di kawasan Nimboran untuk tesis Pasca- sarjana di Fakultas Sosial,Universitas Gajah Mada kepada Jubi pekan lalu.
Menurut dia, sejak Zaman Belanda jenis kakao yang dikembangkan mampu menembus pasaran ekspor hingga ke Negeri Kincir Angin,  sebagai bahan baku  pabrik cokelat merk Van Houten.
Kini pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan Program Agropolitan.Padahal,di kalngan masyarakat Nimboran  di Lembah Grime, Pemerintah Belanda pernah mengembangkan proyek perkebunan cokelat dengan bantuan dana dari masyarakat Ekonomi Eropa.
Namun proyek akhirnya terhenti karena wilayah jajahan Belanda, Nederlands Nieuw- Guinea (kini Provinsi Papua dan Papua Barat) bergabung dengan Indonesia.
Begitu pula nasib Koperasi Java Datum milik masyarakat juga tak aktif karena dianggap sisa-sia penjajah yang sudah tidak berguna lagi.
Padahal, kata Agustinus Wadi, warga Kampung Belitung,Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, telah  dikembangkan pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea pada 1958 sebagai kawasan perkebunan cokelat berbasis masyarakat.
“Tempat pembibitan cokelat cukup luas; ada sekitar 10 hektare yang kini tak terurus. Saat Belanda angkat kaki dari tanah Papua, kebun cokelat dan Koperasi Jawa Datum milik tinggal nama,”ujar Agustinus Wadi kepada Jubi beberapa waktu lalu.
Ia menuturkan,  saat ini hanya sisa-sisa tanaman cokelat dan traktor tua peninggalan Belanda menjadi saksi bisu kejayaan buah cokelat yang pernah membuat tenar daerah ini di Singapura dan Belanda.
“Orang tua saya dulu petani cokelat; pekarangan rumah kami menjadi tempat pembibitan,”ujar Agustinus, pendeta Gereja Bethel di Kampung Belitung.
Pendapat senada  dikemukan Edison Roberth Giay, aktivis LSM asal wilayah Nimboran.  Katanya, perkebunan cokelat juga menyebar di kampung-kampung,seperti Sanggai, Sarmai Krang Atas, Sarmai dan  Krang Bawah.
Nama “Koperasi Jawa Datum diambil dari bahasa Nimboran, yang berarti “ sedang bertumbuh,”tegas Giay kepada Jubi.
Menurut Agustinus,jenis cokelat yang diintrodusir Belanda lima buah bisa menghasilkan satu kilogram cokelat basah.“Berbeda dengan cokelat sekarang; 10 buah baru bisa mencapai satu kilogram cokelat basah,”tegas Agustinus,yang juga petani coklat di Kampung Belitung.
Wadi memaparkan, selama 40 tahun menjadi petani cokelat,ada empat jenis tanaman cokelat yang diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Jayapura.
“Kini masyarakat masih  menanam cokelat, tetapi tidak seserius zaman orangtua kami,”tegas Wadi.
Rongsokan traktor peninggalan Belanda masih bisa ditemui di pekarangan rumah Johny Wuong, warga di Sarmai Krang.
“Traktor ini dulu dipakai untuk mengolah lahan-lahan cokelat,”tutur Octovianus, warga Sarmai Krang.  
Setelah Papua berintegrasi, Irian Jaya Joint Development Foundation Program (IJJDF) juga memasukkan bibit-bibit cokelat, namun hanya bertahan selama beberapa tahun.”
“Cokelat hasil introduksi IJJDF cukup bagus, tetapi hanya sampai lima kali panen;  memasuki tahun ke enam produktivitasnya menurun,” tegas Agus.
Berdasarkan data Irian Jaya Development Foundation 1969-1994, di Genyem,  ibukota Distrik Nimboran, terdapat 493 nasabah cokelat dan sapi dengan total kredit sebesar Rp 150.572.000.  Kegiatan IJJDF sendiri sudah berakhir sekitar akhir 1990-an. Kini bekas-bekas bangunan pengering dan  penjemuran biji cokelat rusak  tak terurus.
Pemerintah Belanda mulai merencanakan  wilayah Nimboran sebagai kawasan pertanian terpadu perkebunan cokelat berbasis masyarakat dimulai sejak 1946. 
Tiga tahun kemudian, yakni 1949, Koperasi Java Datum dibentuk.Johanes Hembring dan Philemon Jambejapdi dipercayakan sebagai pengurus.Mereka mendapat pengarahan dan petunjuk langsung dari Dr.W.J.H.Kouwenhoven.
Pengerjaan proyek Nimboran, yang dimulai 1956, dipercayakan kepada South Pacific Research Council di Noumea, Caledonia Baru.
Melalui proyek ini,  penduduk Nimboran dilibatkan  dalam pusat pertanian atau pertanian komunal (nuclear farm) di padang alang-alang. Padang seluas 16 hektare di Kampung Sarmai Krang ini  awalnya lokasi perburuan bersama tigakampung.
Traktor dan alat-alat  lain  yang digunakan dalam pengerjaan lokasi perkebunan merupakan bantuan dari South Pacific Comission.
Pemimpin dan para pekerja  proyek adalah orang-orang Nimboran sendiri. Kecuali seorang teknisi traktor asal dari Biak.
Penduduk Nimboran yang bekerja di proyek ini  diberikan upah.Sebagian hasil  dibagi-bagikan. Upah bisa dibayar secara angsuran. Sebagian lebih dulu,sebagiannya lagi disusulkan  setelah penjualan seluruh hasil. 
Selain cokelat, kopi, kacang tanah, jagung, kacang kedela, beras ketan dan padi gogo juga  menjadi tanaman andalan.
Kesulitan utama saat itu adalah pemasaran hasil. Sehingga pemerintah bertindak sebagai pembeli melalui   Koperasi Rakyat  Java Datum.
Koperasi ini bisa menampung hasil pertanian dan perkebunan, terutama cokelat.
“Tak cuma  cokelat,ampung-kampung,seperti Ombrop, Benyom dan Berap  menjual anyaman dari rotan dan banbu ke  Koperasi Java Datum,” ”tutur Alexander Griapon, mantan Kepala Dinas Pariwisata, Kabupaten Jayapura belum lama ini.
Proyek Nimboran saat itu mengalami hambatan karena keterbatasan tenaga buruh. Hampir sebagian besar pemuda-pemuda Nimboran bekerja di Kota Hollandia (kini, Jayapura).
Jadi, sejak 1953-1954, pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea telah merencanakan tanaman perdagangan (cash crop)dengan peralatan modern (untuk ukuran saat itu).
Tak heran, masyarakat di Lembah Grime sudah mengenal mekanisasi pertanian sejak zaman  Belanda.
Tentu saja, program agropolitan yang diusung pemerintah Kabupaten Jayapura tidak mengejutkan masyarakat Nimboran.Bagi mereka, barangkali cuma “ketok-tular” dari  proyek Nomboran di era Belanda dulu.
Yang jelas, harga komoditas cokelat yang saat ini berubah-ubah nyaris melorotkan  semangat mengembangkan  tanaman ini.  Harga komoditas ini lebih banyak ditentukan para tengkulak.
“Dulu zaman Belanda, kitorang  bisa jual cokelat sesuai harga pasaran internasional; Koperasi Java Datum siap menampung hasil bumi dan kerajinan rakyat,”ujar salah seorang warga Nimboran berusia lanjut.
Menurut Kepala Litbang Kabupaten Jayapura,  Alexander Griapon,  wilayah agropolitan barat, seluas 1021 kilometer persegi. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan PegununganUlar-Iwalom (Demta-Yokari),dataran rendah Muaif Kaptiau, sebelah Timur berbatasan dengan perbukitan Kwansu-Ibub (Kemtuk) dan punggung perbukitan Kalisu (Gresi). Sebelah selatan berbatasan dengan daerah Pegunungan Mawer Srebo(Unurum Guay) dan sebelah barat berbatasan dengan Nimbontong (Unurum Guay).
Wilayah ini akan dikembangkan menjadi wilayah agropolitan dengan komoditas  tanaman cokelat dan buah-buahan lainnya.
Mungkin kendalanya, bagaimana program ini dikembangkan sesuai karakter dan daya serap masyarakat setempat.  Pasalnya, sejak zaman Belanda sampai sekarang tidak dipikirkan  pemasaran.
Kerap tidak ada harga pasti  yang memungkinkan keuntungan.Semangat petani pun menurun.Ada yang  malah berlaih ke tanaman lain. Bahkan  kalau harga cokelat merosot jauh, perkebunan cokelat ditelantarkan.Walau, cokelat masih menjadi komoditas topangan ekonomi keluarga.
Beberapa tahun lalu, misalnya,  warga di Distrik Nimbokrang dan Nimboran membutuhkan   ribuan bibit.
Distrik Nimbokrang dan Namblong mendapat jatah dua jenis bibit, yang disemaikan di lokasi dan bibit siap disalurkan sebanyak 30 ribu.
Yang sulit adalah Distrik Depapre yang mengalami kekeringan. (DAM/dari berbagai sumber)

Stop Bibit, Rawat Cokelat

Friday, 12 February 2010 22:02 administrator Hits: 908
http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/jubi-utama/5394-stop-bibit-rawat-cokelat.html

JUBI— Tiga tahun sudah masyarakat  terima bibit cokelat dari pemerintah, mau tolak tapi tidak bisa. Terpaksa terima saja, habis mau bilang apa. Mau tolak  trabisa, ya terima saja toh.
Begitulah ungkapan hati Sekretaris Kampung Gmebs Distrik Nimboran,  Lodewijk Hembring, ketika crew Jubi sempat berkunjung ke kediamannya di Kampung Kuipons Distrik Nimboran pekan lalu.
“Kenapa kitorang tidak bisa memakai bibit sendiri,”tutur Hembring sedikit menggungat program pencanangan pembagian bibit cokelat.
Namun apa mau dikata, di Kampung Gmebs, bibit cokelat sudah diberikan beberapa kali oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Masyarakat terima bibit cokelat mulai 2004, 2005 dan terakhir 2006, praktis selama tiga tahun berturut-turut.
“Sudah 10.000 hektar yang ditanami cokelat oleh 80 KK,” tutur Sekretaris Kampung Gmebs Hembring. Masing-masing Kepala Keluarga(KK) memiliki lahan hanya satu hektar saja sesuai dengan kemampuan  dan jumlah bibit yang diterima.
Karena cokelat hibrida jadi tahun ketiga sudah bisa panen dan satu hektar bisa menghasilkan satu ton atau minimal hanya setengahnya saja.
“Kalau panen kecil karena kemarau bisa hasilkan 500 Kg cokelat basah,”tutur Hembring mantan mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Ottow dan Geisler (STIE) Kotaraja Jayapura ini.
Saat ini lanjut dia harga cokelat basah di pasaran Genyem seharga Rp  7000,- sedangkan cokelat kering antara Rp 21.000,- sampai Rp 23.000,-. Pendapat Lodewijk dibenarkan pengumpul di Genyem  Daeng  Majid cokelat basah seharga Rp 7000,- dan kering Rp 21.000,-. “Saat ini hasil cokelat tidak seramai sepuluh tahun lalu,” tambah Madjid. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah banyak yang tidak mengelola cokelatnya dan juga sudah banyak pedagang pengumpul dari kota yang datang membeli .
Bagi Alexander Griapon, Kepala Litbang Kabupaten Jayapura sebaiknya pemerintah perlu melakukan evaluasi kembali program pencanangan pembagian bibit. “Saya kira perlu ada program pemeliharaan cokelat dan rawat cokelat,” tegas Griapon.
Pasalnya lanjut dia ada banyak pilihan dalam bertani sehingga kalau ada komoditi yang lebih menguntungkan maka semua ramai-ramai beralih ke tanamanan lain. Akibatnya bibit cokelat yang baru ditanam tak terurus dan terabaikan, masih untung kalau tanaman cokelat bisa tumbuh sendiri tanpa perawatan. Padahal kata dia cokelat hibrida memerlukan banyak input terutama pupuk dan pembersihan lahan secara terus menerus. “Minimal ada perawatan yang kontinu,”tambah dia. Masyarakat juga bisa memperoleh tambahan pengetahuan tambahan dari petugas penyuluh lapangan (PPL) yang biasa bertugas di kampung-kampung. Yang jelas masyarakat harus konsisten menanam cokelat, meski ada komoditi pertanian lain menguntungkan.”Sebaiknya jangan terpengaruh, tetap konsisten,”tutur Griapon sekadar mengingatkan.
Sebaliknya,  Nehemia Iwong warga Kampung Kuipons sedikit bertanya kenapa pemerintah tidak mau membeli bibit cokelat di masyarakat.”Masyarakat juga sudah  punya bibit cokelat sendiri,”jelas Iwong. Lebih lanjut dia menjelaskan bibit peninggalan Belanda  dan juga bibit-bibit cokelat lainnya yang sudah cocok dengan iklim di Nimboran. “Saya heran kenapa dorang tidak bisa beli bibit dari masyarakat,”ujarnya.
Meski ada keberatan dari warga, toh program pembagian bibit tetap berjalan karena cokelat yang diberikan sesuai standar baku mutu.
Alex Griapon mengakui bibit yang diberikan sesuai dengan standar dan mutu yang berlaku di pasaran cokelat di dunia. Memang lanjut dia pihak International Labour Organization (ILO) pernah mengembangkan cokelat peninggalan Belanda di Kemtuk dan Nimboran tetapi sulit untuk memperoleh pasaran atau tidak laku dijual.
Namun Griapon menyarankan sebaiknya cokelat peninggalan Belanda bisa dipakai untuk konsumsi sendiri dan bisa menjadi paket wisata. “Kalau ada turis yang berkunjung ke kampung bisa sekalian membeli cokelat produksi lokal,”tegas Griapon. Apalagi lanjut dia saat ini Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura sedang membangun museum cokelat peninggalan Belanda dan juga monumen Java Datum di dekat lapangan sepak bola Genyem.
Traktor tua peninggalan perkebunan cokelat masyarakat jaman Belanda tertata rapih di dalam sebuah bangunan di dekat rumah keluarga Iwong Kampung Sarmaikrang, Distrik Nimboran. Semula crew Jubi ingin memotret dan merekam gambar video tapi penjaga gedung tak member ijin. “Wah kalau mau foto kami tidak ijinkan,”ujar Mama Iwong tanpa memberikan alas an yang jelas. Terpaksa crew Jubi hanya melihat saja beberapa traktor dan alat pertanian lainnya yang tertata rapih dalam sebuah bangunan terbuka di pinggir jalan menuju Genyem ibukota Distrik Nimboran.
Buah cokelat sendiri di Indonesia telah dikenal sejak 1560, tetapi baru menjadi komoditi yang sangat penting pada 1951. Sedangkan di tanah Papua cokelat baru diperkenalkan kepada masyarakat  lima tahun kemudian pada 1956 di kawasan lembah Grime Distrik Nimboran. Jenis yang pertama sekali ditanam di Indoenesia Criollo, yaitu di daerah Sulawesi Utara yang berasal dari Venezuela.Pada tahun 1888 diperkenalkan bahan tanaman Java Criollo asal Venezuela yang bahan dasarnya adalah kakao asal Sulawesi Utara tersebut, sebagai bahan tanaman tertua untuk mendapatkan bahan tanaman unggul. Sebelumnya pada 1880, juga diperkenalkan bahan tanaman jenis forestero asal Venezeula untuk maksud yang sama. Dari hasil penelitian saat itu, direkomendasikan bahan tanam klon-klon DR, KWC, dan G dengan berbagai nomor. (DR kode dari kebun pohon induk "Djati Renggo", G kode dari "Getas").
Sejalan dengan itu, pengembangan pertanaman kakao di Indonesia, khususnya di Jawa, berjalan dengan pesat. Perkembangannya juga didorong oleh meluasnya penyakit kopi oleh Hemeleia vastatrix, sehingga menyebabkan musnahnya areal pertanaman kopi di Jawa.
Daerah utama pertanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah, tepatnya pada wilayah 180 Lintang Utara sampai 150 Lintang Selatan. Daerah-daerah dari Selatan Meksiko sampai Bolivia dan Brazilia adalah tempat-tempat tanaman kakao tumbuh sebagai tanaman liar. Beberapa spesies Theobroma yang diketahui antara lain Theobroma bicolor, Theobroma sylvestris, Theobroma pentagona, dan theobroma augustifolia, merupakan sepesies yang pada awalnya juga dimanfaatkan sebagai penghasil biji sebagai campuran.Para pakar pertanian membagi skema pengelompokan jenis kakao tersebut sebagai berikut, Criolo (choiced cacao) terdiri dari Central America Criolo dan South American Criolos. Forastero(bulk cacao) Lower Amazone Farastero dan Upper Amazone Hybrids. Trinitario, jenis kakao yang ditanam sekarang ini dan sebagai besar jenis Criolo.
Mengingat kondisi iklim Papua yang cocok bagi komoditi cokelat, pemerintah Belanda menetapkan tanaman ini sebagai tanaman penting dibandingkan tanaman lainnya. Pemerintah Belanda mengakui tanah Papua sangat potensial untuk mengembangkannya sebagai komoditi pertanian ekspor. Untuk memperkuat komoditi ekspor, Gubernur Nederlands Nieuw Guinea Jan Van Baal mengeluarkan ordonanti kakao pada 1955. Adapun isi ordonansi tersebut menurut John Boekorsjom dalam tesisnya berjudul Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Kakao Rakyat Dengan Pola Pendampingan di Kecamatan Kemtuk, Kabupaten Jayapura, Program Pasca Sarjana Universita Gajah Mada, 2005 menyebutkan perlindungan terhadap pengursakan kakao baik oleh manusia maupun karena terkena hama penyakit. Peraturan tersebut dilanjutkan pula dengan peraturan tentang Usaha Tani (Agrarische Streek Projecten) yang mengatur usaha untuk mendapatkan hak milik atas dua hektar lahan yang digunakan untuk tanaman perdagangan.
Pemerintah Belanda mulai mengusahakan tanaman perkebunan di Papua sejak 1952 dan tanaman yang diperkenalkan antara lain kelapa, pala, kopi dan cengkeh. Dari segi usaha perkebunan di Papua dibagi menurut tiga kelompok yaitu perkebunan rakyat, perkebunan swasta besar dan perusahaan perkebunan negara.
Selama ini kakao atau cokelat yang ditanam oleh masyarakat dan perusahaan kakao terdapat dua jenis antara lain, di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen jenis kakao yang berasal dari Pusat Penelitian Pertanian Kravat(New Britain, PNG Pengembangan Australia). Sedangkan jenis lainnya terdapat di Kabupaten Manokwari yaitu persilangan dengan varitas cokelat dari Jawa diperkiarakan Djati Runggo-DR.
Menurunnya areal tanaman kakao di Papua karena petani merasa harga kakao basah tidak menarik dan harganya sangat rendah dan berubah-ubah (fluktuasi). Penebangan kakao terjadi karena perluasan kota dan pelebaran jalan
Karena itu tugas pemerintah sebenarnya bukan sekadar memberikan bantuan bibit tetapi harus mengambil kebijakan untuk menetapkan harga kakao agar memberikan keuntungan bagi Petani Kakao. (Ronald Manufandu/DAM dari berbagai sumber)

Cokelat Nimboran Tinggal Kenangan

Friday, 12 February 2010 22:05 administrator Hits: 1066
http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/jubi-utama/5396-cokelat-nimboran-tinggal-kenangan.html

Jubi---Semangat menanam cokelat masih ada, tetapi tak sebanding dulu, di era Belanda:   bekerja dan tinggal memetik hasil keringat sendiri.
Awak  Jubi, Selasa 2 Februari berangkat  dari Kota Jayapura menuju Genyem, ibukota Distrik Nimboran. Perjalanan   hanya membutuhkan waktu satu setengah jam. Jalan beraspal dan berkelok-kelok memberikan gambaran keseriusan pemerintah untuk membuka isolasi daerah yang sulit dan mudah dijangkau dengan transportasi  darat.
Jalan Nimboran, Nimbotong dan sekitarnya kini merupakan  jalan utama menuju Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura bagi warga dari Demta, Kaureh hingga ke Distrik Bonggo,  Kabupaten Sarmi.
Di zaman penjajahan Belanda, transportasi ke wilayah Nimboran sulit, hanya berjalan kaki dan  menggunakan pesawat udara. Biasanya dari Borowai masyarakat berjalan menuju Kampung Mamda Besar, selanjutnya ke Genyem.
“Karena saya bersama keluarga, kami berjalan dua hari,”tutur TS Boekorsjom dalam  buku Bakti Pamong Praja Papua, karya Leontine E Visser dan Amapon Jos Marey.
Waktu itu, untuk transportasi  Danau Sentani hanya diandalkan sebuah Kapal feri yang menghubungkan Yoka Borowai.
Meski transportasi sulit dan tak selancar sekarang, tugas-tugas untuk melakukan turne atau berkunjung ke kampung-kampung di wilayah Nimboran tetap berjalan lancar.
“Bistir Boekorsjom selalu berjalan ke kampung-kampung hampir selama sebulan,”tutur Lodwijk Hembring, Sekretaris Kampung Gmebs, Distrik Nimboran mengenang kerja keras para bestir (pamong praja) zaman Belanda.
Selain hanya “menggunakan kaki sendiri,” ada penerbangan pesawat jenis Dakota secara rutin mendarat ke Genyem.  Lapangan terbang Genyem sekarang tinggal  kenangan; ditumbuhi semak dan belukar liar, bersamaan nasibnya dengan tanaman cokelat peninggalan kolonial. 
Semangat menanam cokelat tak secerah ketika wilayah Lembah Grime, Distrik Nimboran, masih di bawah kekuasaan pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea.
Orang-orang tua masih mengenang masa kejayaan cokelat di bawah pengelolaan Koperasi Java Datum. Kerja keras yang tinggi, yang ditopang  pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea, menghasilkan panenan cokelat yang  menguntungkan.
Hengkangnya Belanda  dari Nieuw-Guinea seolah ikut  menghapus sisa-sisa kejayaan perkebunan rakyat. Sulit  mengulangi  jaman keemasan cokelat.
“Kami seperti ingin kembali di jajah  Belanda,”keluh  Nehemia Iwong, warga Kampung Kuipons, Distrik Nimboran. Keluhan Nehemia, bukan mungkin tidak mengada-ada.  Sejak masih Nederlands Nieuw-Guinea,  warga Nimboran sudah menggunakan traktor  dan bajak dalam rangka mekanisasi perkebunan. Dengan alat-alat itu, mereka membuka lahan-lahan perkebunan yang kemudian  bibit-bibit cokelat asal Amazon, Brasil.
Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan untuk investasi tanaman cokelat bagi kepentingan bisnis pabrik cokelat Van Houten di negara induk.
Pengerjaan cokelat, yang berpusat di Kampung Sarmaikrang, dilakukan sendiri oleh orang-orang Nimboran.  Mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemetikan   hasil, fermentasi dan pengasapan.
Sebelum diekspor, sampel hasil panen akan dikirim ke Belanda untuk dicek kualitasnya. “Kalau bagus,  langsung diekspor ke Belanda dan Jerman,”cerita Nehemia Iwong.
Memang kualitas cokelat Nimboran pada masa itu  tidak diragukan. Ada tiga jenis cokelat yang diberikan Dinas Pertanian   Nederlands Nieuw-Guinea. Antara lain,  forastero, kliolo dan amazon. Jenis  cokelat di Nimboran kebanyakan berasal dari Afrika, wilayah sesama jajahan Belanda.  “Jenis cokelat Zansibar juga didatangkan dari daerah itu,” tutur Alexander Griapon, Kepala Badan Penelitian Kabupaten Jayapura.
Jenis-jenis peninggalan Belanda sampai sekarang masih tumbuh, tapi sudah tak terawat lagi.  Lokasi perkebunan dulu sudah berwujud  semak-belukar.  Pohon cokelat yang masih tersisa pun bertumbuh semakin tinggi 
Walau warga setempat masih menanam untuk kebutuhan sehari-hari.
Buah cokelat jenis forastero, kliolo dan amazon memanjang menyerupai buah papaya. Ada yang  kuning dan  merah. Hasilnya tak kalah dari jenis cokelat hibrida sekarang.
Untuk menghasilkan satu kilogram, cukup enam hinggia delapan buah cokelat “Belanda,” dibanding cokelat hibrida  yang  harus 12 buah. 
Perawatan jenis hibrida pun cukup merepotkan,  mulai dari pemupukan hingga perawatan. Sudah itu, jenis ini rentan hama dan tidak bertahan lama. Kelebihannya,  bisa panen berulang-ulang.  Yang penting mengatur rotasi tanam hingga peremajaan tanaman tetap terjaga.
Pemerintah Kabupaten Jayapura, melalui Dinas Pariwisata, mulai mencoba membangun gedung “Museum Perkebunan Cokelat Nimboran” untuk mengawetkan sisa-sisa traktor dan alat-alat pertanian peninggalan yang masih ada.  
Hal ini mungkin penting untuk mengingatkan warga  memelihara semangat kerja, seperti masa lalu.
Zaman terus berayun ke depan. Museum alat-alat dan mesin bajak peninggalan pemerintahan Belanda tak serta merta memulihkan semangat lama menanam cokelat. Sesuai harapan  pemerintah Kabupaten Jayapura. Walau tanaman ini harus menjadi  primadona ekonomi keluarga. Bahkan sebagai bagian symbol kekayaan untuk jaminan sebagai mas kawin. Kalau hendak meminang anak perempuan dari kampung lain minimal harus punya kebun cokelat, ternak  sapi dan juga ternak babi. “Ya cokelat masih jadi dewa Orang-orang di Nimboran,”tukas Nehemia Iwong seraya menambahkan meski harganya selalu berubah-ubah tapi masih ada semangat untuk tetap bertahan hidup dengan menjual hasil panen cokelat rakyat. Memang diakui beberapa kali koperasi milik masyarakat Nimboran berusaha untuk menembus pasaran sendiri dan menampung hasil bumi rakyat tapi sulit. Terpaksa kembali mengikuti kemauan pasar dan sistem yang telah dibangun para pedagang. Mulai dari pedagang pengumpul sampai ke penjualan di kota dan mengirimnya langsung ke Makassar dan juga Surabaya.
Mestinya harus ada perusahaan daerah  milik pemerintah yang tetap menjaga keseimbangan harga sehingga para pedagang dan tengkulak tak bisa menentukan harga seenaknya. Masyarakat me -mang sebagai pelengkap menderita hanya tinggal mengikuti kemauan si pembeli. Pasalnya kebutuhan-kebutuhan sehari-hari sangat mendesak dan perlu dana secepatnya sehingga cokelat bisa jadi jalan keluar untuk menjawabnya.
Namun yang jelas perlu ada peningkatan produksi agar tidak hanya sekadar menanam dan meninggalkannya tumbuh sendiri.
Perlu perawatan dan pengetahuan teknis yang memadai agar terus eksis sebagai petani cokelat. Pengetahuan bercocok tanam memang bukan saja datang begitu saja tetapi perlu pendampingan terutama peran petugas pekerja lapangan (PPL) pertanian maupun peternakan. Memang pemerintah telah menyediakan banyak tenaga PPL di setiap Distrik dan kampung-kampung untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Tapi hanya sedikit tenaga PPL  yang merasa terpanggil untuk menularkan ilmu bertaninya kepada masyarakat. Atau memang masyarakat sendiri yang kurang mampu menyerap ilmu tentang bertani dan beternak.
“Memang ada tenaga PPL tetapi mereka lebih banyak turun ke kota,”tutur salah seorang warga yang enggan menyebut namanya. Bahkan dia menambahkan begitu pula dengan tenaga pendamping program Respek di Kampung juga jarang di lapangan. “Kalau pun di lapangan hanya untuk membuat laporan dan setelah laporan rampung petugas pendamping kembali tinggal di kota,”tutur Lodewijk Hembring Sekretaris Kampung Gmebs. Dia mengakui di Kampung Gmebs juga menerima dana pendampingan dari Pemerintah Provinsi Papua melalui Program Respek sebesar Rp 100 juta dan pemerintah Kabupaten
Jayapura senilai Rp 150 juta. Jadi kalau ditotalkan setiap Kampung di Distrik menerima dana pendampingan sejumlah Rp 250 juta. Sampai kapan pemberian dana-dana ini berlangsung perlu ada batas waktu sehingga ketika dana tersalurkan tentunya harus ada usaha mandiri. Jangan sampai pemberian dana terhenti dan aktifitas pun ikut berimbas serta masyarakat tetap hidup tanpa perubahan berarti. Ibarat mengikuti keinginan si pemberi program kalau masyarakat disuruh tanam cokelat semua ramai-ramai tanam cokelat sambil menunggu turunnya dana-dana pendampingan. Sebaiknya perlu jalan keluar agar ketergantungan terhadap bantuan secara perlahan harus berkurang dan akhirnya melahirkan kemandirian masyarakat sendiri. Jika tidak semuanya akan dianggap sunyi dan angin lalu serta sekadar untuk bertahan hidup semata. (Ronald Manufandu/DAM)

Selasa, 09 Agustus 2011

Boekorsjom: Jayapura Dulu Aman, Sekarang Tidak

Thursday, 01 April 2010 23:29 administrator Hits: 337
http://tabloidjubi.com/daily-news/jayapura/6441-boekorsjom-jayapura-dulu-aman-sekarang-tidak.html



JUBI --- Keamanan Kota Jayapura dulunya sangat terjamin. Dimasa pendudukan Belanda, kekacauan jarang terjadi.

“Dulu minuman keras dijual secara bebas disemua toko dengan harga yang sangat murah, tapi tingkat kekacauan dapat ditekan,” kata T. S Boekorsjom, Kamis (1/4).

Mantan Walikota Holandia ini mengatakan, ada tiga hal penting yang telah dilakukannya untuk menjaga keamanan saat itu, pertama adalah pelarangan mabuk mabukan dijalan, pembersihan parit tiap minggu dan menertibkan pembuangan sampah.

“Dulu kalau hujan, berarti pagi-pagi saya dan anak buah saya turun untuk kontrol parit yang tersumbat. Kalau ada yang tersumbat maka langsung dibersihkan,” kenangnya.

Menurutnya, penerapan aturan ini dilakukan untuk memudahkan tiap orang bekerja dan membiayai hidupnya sendiri. Ini juga sebagai wujud dari rasa cinta terhadap Holandia.

Dalam masa pemerintahannya, pohon rindang juga ditanami sepanjang jalan. Rimbunan pohon membuat pengguna jalan merasa nyaman dan sejuk. “Waktu itu pohon yang banyak kita tanam itu kapas,” ujarnya.

T. S Boekorsjom bertugas sebagai walikota dari tahun 1952 sampai 1964. Ia kemudian diberi kepercayaan sebagai panitera di Kantor Kejaksaan Jayapura.

Ia berharap, kepemimpinan Walikota Jayapura kini setidaknya bisa seperti dulu. Berpihak pada rakyat, dan memperhatikan apa yang mereka butuhkan. (Musa Abubar).

T.S.Boekorsjom : Dulu Teratur, Kini Takaruang

Saturday, 24 April 2010 09:00  administrator Hits: 752
http://tabloidjubi.com/artikel/pengalaman/6936-tsboekorsjom-dulu-teratur-kini-takaruang-.html



Paitua T.S. Boekorsjom : HOLLANDIA DULU BISA DISEBUT KOTA BERIMAN KARENA BERSIH DAN NYAMAN. (FOTO/JUBI MUSA ABUBAR)


T.S Boekorsjom, lelaki asal Biak ini pernah memangku dua jabatan penting pada masa Pemerintahan Belanda.  Jabatan pertama sebagai Walikota Hollandia membuatnya selalu turun lapangan mengawasi kebersihan kota dan bahaya banjir.  

JUBI --- Di masa itu banyak kesulitan yang dialami namun tidak menjadi hambatan  bagi T. S. Boekorsjom untuk menjalankan tanggung jawab yang diberikan.
Setelah menyelesaikan pendidikan Bestuur di Opleidingschool Voor Inheemse Beestuursambternaren (OSIBA) sebagai lulusan terbaik Tahun 1951, ia langsung menerima besluit atau Surat Keputusan untuk bekerja di Kantor HPB Hollandia (Jayapura-red).
Pada 1952-1954 mendapat kepercayaan menjadi  Hoofd Plaaselijk Beestuur atau Kepala Pemerintah Daerah  Hollandia.
Sebagai Walikota Hollandia  tentu  lebih banyak berpikir untuk mengelola dan mengembangkan sebuah kota dan berpikir untuk menjaga situasi kota agar tetap aman. “Waktu saya jadi walikota. Saya berusaha supaya kota ini tetap bersih, indah, nyaman dan rapi,” kenang  Boekorsjom kepada JUBI di kediamanannya  di Kotaraja Jayapura.
Dalam menjalankan tugas, ia tetap bekerja sama dengan instansi lain seperti Dinas Pekerjaan Umum (RWD) dan bersama-sama masyarakat untuk menata kota. Ia mengaku, Warga yang ingin memanfaatkan pekarangan (kintal) untuk berkebun juga dibantu pemerintah. Dulu di wilayah yang sekarang Saga Mall,  merupakan  Kebun Kangkung Youwe. “Kebun Kangkung itu milik Paitua Lukas Youwe sehingga warga sering bilang Kangkung Youwe,” kenang  Boekorsjom.  “Kalau di Kali Acai terdapat kebun kangkung milik Paitua Musa. kangkung tersebut didatangkan dari Taiwan pada Tahun 1952. Dan Kangkung Putih tersebut menjadi favorit Warga Kota Hollandia.” 
 Bukan hanya itu saja bersama Warga Abe Pantai dan beberapa pekerja melakukan penanaman Lamtoro Gun di Kawasan Jalan Skyland. Tanaman Lamtoro Gun ini penting untuk menahan erosi dan banjir.
 “Pohon Lamtoro Gun ini sebagian kami tanam, sebagian lagi tumbuh dengan sendiri,” ungkapnya.
Tanaman ini juga berfungsi sebagai penepis panas matahari agar pengguna jalan tetap merasa sejuk dan nyaman. Selain itu juga berfungsi sebagai penahan air saat turun hujan sekaligus sebagai penyangga banjir.
Ayah delapan anak ini mengatakan, tidak hanya itu yang dilakukan. Namun selama masa kepemimpinannya, ia berusaha untuk menjaga kebersihan, kemanan dan menertibkan kedatangan setiap penduduk baru yang masuk dan hendak berdomilisili di Hollandia saat itu.
“Ada aturan bagi warga baru di Hollandia. Kalau selama enam bulan sudah punya pekerjaan tetap baru kami terbitkan Kartu Tanda Penduduk (KTP),” ujar Boekorsjom.
Dia mengaku, untuk warga  dari luar yang mau mencari  pekerjaan, pemerintah menolaknya dan dipulangkan ke tempat asal mereka.
“Kota Hollandia harus bebas dari warga yang tidak punya pekerjaan dan pengangguran. Terkecuali penduduk setempat,” kata Boekorsjom.
Dia juga menambahkan tugas rutin lain yang selalu dilakukannya  adalah memantau kebersihan sungai dan parit jika musim hujan.
Kali Anafre di sepanjang Overtom dan Kantor DPRP sekarang harus tetap jernih dan tidak dijinkan boleh ada buangan kotoran. “Kita jaga kebersihan Sungai Anafre sehingga warga bisa mandi dan cuci di situ,” tukas mantan Pembantu Gubernur Irian Jaya Wilayah I.
 Fokus kebersihan selalu menjadi perhatian karena kalau kotor akan menyebabkan sumber penyakit dan  tentunya warga tidak sehat.
“Kalau malam turun hujan sampai pagi hari. Berarti pagi-pagi sekali harus kontrol dan memerintahkan anak buah kalau ada yang rusak agar segera diperbaiki,” ujar Boekorsjom.
Tindakan ini perlu dilakukan secepatnya agar mengantisipasi meluapnya air ke badan jalan.
Pengelolaan sampah dan tempat pembuangan akhir (TPA) juga menjadi perhatian serius. Penerapan program ini dilakukan dengan tujuan agar kota ini tetap bersih dan indah.
Setiap sampah yang diangkut dan dibuang ke TPA langsung dibakar.
TPA pertama terletak di samping jalan Rumah Ibadah Hindu Skyland Jayapura. Tempat tersebut ada salah satu jurang yang terjal. Empat orang tenaga ditugaskan secara khusus untuk membakar setiap sampah yang diangkat dan dibuang ke  TPA tersebut. Sampah tersebut dibakar dengan tujuan agar tidak menimbulkan bau busuk. “Petugas sampah selalu siap dua puluh empat jam untuk membakar sampah-sampah  untuk dibawa dan dibuang,” katanya.    
Ia mengaku,  TPA ini tidak bertahan lama dan dipindah  ke pantai jalan Vim. “TPA ini sudah tidak memadai lagi,” ujar Boekorsjom. “Tempat sampah ini bertahan hingga  awal Tahun 1990. Namun setelah MR Kambu jadi Walikota Jayapura,  kemudian dipindahkan lagi  ke daerah Kampung Nafri.”
Dalam hal pengotrolan kebersihan Kota  Hollandia, dia mengaku,  aparatnya mengawas setiap saat sehingga pada saat itu kota ini juga disebut sebagai kota yang beriman.
“Mungkin kita boleh sebut Kota Beriman karena bersih dan nyaman,” tutur Boekorsjom mengenang Jayapura tempo dulu.
Berkat operasi penertiban sampah tersebut, di setiap sudut Kota Hollandia yang kini disebut Jayapura, nyaris tak nampak ceceran kotoran di tempat umum dan halaman rumah-rumah penduduk.
Melalui kebijakannya, warga tidak diperkenankan buang sampah ke Kali Acai maupun Kali Anafre. Dia juga mengaku, kesadaran warga pada zaman Hollandia sangat tinggi. “Warga sangat tertib dan cinta lingkungan bersih sehingga aturan yang diterapkan oleh pemerintah tidak sia-sia,” bangganya.
Selain itu, pada penataan kota  juga menjadi perhatian Boekorsjom. Dikatakannya, Pemerintah Kota Hollandia juga sangat tegas kepada penduduk yang hendak membangun rumah tempat tinggal. “Tidak ada perijinan pembangunan rumah di atas bukit atau lereng lereng gunung,” ujar Boekorsjom.
Selain itu, kemananan dan ketertiban masyarakat juga diperhatikan. Pihaknya bekerja sama dengan Inspektur Polisi dalam menangani ketertiban dan kemanan.
Ada aturan dan tata tertib yang perlu diperhatikan Warga Kota Hollandia. Misalnya berkendaraan, baik roda dua dan roda empat. Kendaraan tidak diperkenankan mengeluarkan asap yang mengepul. Jika melanggar aturan kebisingan dan polusi udara maka pengendara mobil dan motor akan ditindak aparat polisi.
Dia mengaku, pada era Pemerintahan Hollandia ada juga warga yang jual minuman keras, jenis bir. Harganya satu botol bir kecil berkisar 35-75  sen Nieuw Guinea Gulden.
“Yah, dorang minum bir  tetapi tidak bikin kacau dan palang jalan. Semua aman dan terkendali. Kalaupun ada pertengkaran hanya terjadi di tempat khusus termasuk saja. Dorang juga  baku melawan dengan Anggota KNIL atau Polisi”. ujar Boekorsjom.
Dia juga mengaku, kesibukan polisi biasanya terlihat pada jam-jam istirahat yakni sekitar  Pukul 15.00-17.00 Waktu Hollandia. Motor yang mengeluarkan suara bising ditilang pihak yang berwajib.
“Soalnya pada jam tersebut banyak orang sedang istirahat selepas jam kantor,” ujarnya.
Selain itu, Pemerintah Kota Hollandia juga bertanggungjawab atas pekuburuan umum di Abe dan juga menyediakan peti jenazah keluarga yang berduka. Dia mengaku, ketika itu banyak yang menentang program ini karena dianggap sangat tidak etis karena dinilai meminta orang untuk meninggal.
“Namun toh akhirnya diterima. Ada petugas dan mandor yang menggali kuburan,” ujar Boekorsjom.
Pihaknya juga menyediakan peti jenazah dan  disiapkan di gudang dekat RS Jiwa Irena di Abepura.
Tete Boekorsjom juga mendapat kesempatan menjadi assisten peneliti dari Tuan Galis dalam Penelitian Papoe Van Humbold Bay pada 1953. Hasil penelitian ini mengantarkan Galis meraih gelar Doktor di Universitas Leiden Belanda. (JUBI/DAM/Musa Abubar)

Senin, 08 Agustus 2011

Local Government Officials Training Program in Japan 2003

* National origin of trainees for the 2003 LGOTP *
Korea, Indonesia, Thailand, Russia, Mongolia, Cambodia, Myanmar, Brazil, Mexico, Hungary, Bhutan, U.S.A, the Philippines, and Laos.

* The Schedule for the 2003 LGOTP *
May 25 Trainees arrive in Japan
May 26-27 Tokyo Orientation
May 29-June 26 Japanese language training at JIAM
       < Specialized training at host institutions from 5 to 9 months >
Oct 9 - 10 Mid Term Conference

Arrival 5/25




Tokyo 5/26.27
Opening


Orientation



Reception






Parliament


JIAM 5/28-6/26
Opening


Otsu and Shigaraki Study Tour





Kyoto Study Tour







Off-Campus Class





PC Workshops



Administrative Topics Lecture








Farewell Party





Daily Life





Closing



Mid-term Conference
Opening


Workshop


Tokyo Visit

s a y o n a r a,,,,,,,

Clair Staff / CLAIR (Council of Local Authorities for International Relations), Tokyo, Japan


Sumber : http://www.clair.or.jp/e/sien/kouryu/photo/index.html


NOTE :
 Front of JIAM building, where I spent the first 6 weeks in Japan in language training
JAPAN INTERCULTURAL ACADEMY OF MUNICIPALITIES
2-13-1 Karasaki Otsu-shi, Shiga-ken 520-0106
Phone (077)578-5931, Fax (077)578-5905

JIAM building
My room at JIAM


My room at JIAM.

JIAM Class mates.
JIAM Class mates.
Graduation ceremony at JIAM - Thursday, June 26 - with new / good friends - from eight countries around the world.

Graduation ceremony at JIAM.