"Honesty is the Best Policy Politics"

Rabu, 22 Mei 2013

Catatan Lepas “Otonomi Khusus Papua” Antara Ada & Tiada (I)

Rondinelli dan Cheema(1983:25) menjelaskan mengenai ruanglingkup lingkungan ini mencakup struktur politik, prosespembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal, faktor budaya sosial, organisasipenerima manfaat program dan kecukupan infrastruktur fisik. Pada konsep ini Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua tentunya harusdidukung juga dengan kondisi lingkungan sebagaimana Rondinellidan Cheema (1983) dimana pada kontekstersebut kondisi lingkungan dalam pemberlakukan otonomi khusus sangatmempengaruhi suatu implementasi kebijakan.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan pada kebijakan otonomi khusus bagi Papua pada kenyataan terjadi penolakan masyarakat mengenai berbagai cakupan dari lingkungan kebijakan otonomi khusus. Kebijakan otonomi khusus tidak dipandang lagi sebagai kebijakan yang dapat memberikan struktur politik yang jelas, proses pembuatan kebijakan yang dipandang tidak komperhensif, kurang memberikan struktur kekuasaan lokal, kurang adanya penghargaan pada budaya lokal, kurang adanya pengorganisasian dalam pemanfaatan program kebijakan, serta kurang adanya akselerasi percepatan pembangunan infrastruktur di Papua.
Sebagaimana Rondinelli dan Cheema(1983:25), dimana hubungan interorganisasional merupakan faktor penting dalam suatu kebijakan desentralsiasi, adapun indikator pada faktor ini yaitu mencakup  kejelasan dan konsistensi tujuan program, sesuaia lokasi efektivitas fungsi prosedur perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan, kualitas antar-organisasi komunikasi dan efektivitas keterkaitan antara organisasi.
Pada keterkaitan dengan hasil otonomi khusus Papua dimana masih terdapat ketidakjelasan berbagai tujuan dari pemberlakukan kebijakan, ketidakjelasan tersebut muncul ketika belum adanya konsep ideal dalam pemberlakukan dan pencapaia tujuan dari pemberlakukan otonomi khusus Papua. Selain itu, masih ditemukanya inefektivitas mengenai fungsi prosedur pada perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan khususnya mengenai kurangnya sinergiritas antara MRP, DPRP dan Gubernur.Ketidaksinergiritas tersebut seringkali ditemukan pada konsep pembuatan kebijakan seperti pembahasan RAPBD dimana hal ini memberikan implikasi pada inefektivitas pada hubungan antara organisasi. Terjadinya ketidakefektifan pola hubungan antar organisasi pada kebijakan otonomi khusus tersebut menyebabkan semakin derasnya penolakan masyarakat mengenai model kebijakan otonomi khusus Papua,hal tersebut dapat diketahui melalui berbagai aksi demonstrasi masyarakat Papua dalam menolak otonomi khusus Papua.
Fenomena lain muncul ketika implementasi kebijakan otonomi khusus bukansaja memerlukan dukungan sinergiritas semata, melainkan juga pada dukungan sumber daya untuk pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua. Sebagaimana Rondinelli dan Cheema(1983) yang menjelaskan bahwa terdapat indikator dalam dukungan sumber daya untuk pelaksanaan kebijakan yang terdiri dari kontrol atas dana, kecukupan anggaran, ketersediaan sumber daya anggaran, dukungan dari para pemimpin politik nasional, dukungan dari para pemimpin politik lokal dan dukungan birokrasi nasional.
Pada konteks dukungan sumberdaya untuk pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, tidak dapat dipungkuri bahwa masih terdapat penolakan masyarakat mengenai model kebijakan khususnyaanggaran dalam menunjang berbagai program otonomi khusus. Penolakan tersebut berdasarkan pada tidak adanya kontrol atas anggaran, ketidakcukupan anggarandalam menunjang anggaran, ketidaktersediaan sumber daya anggaran yang hanya 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Hal-hal tersebut ditambah lagi dengan  tidak adanya dukungan birokrasi dan tidakadanya dukungan polikitik dari pusat yang lebih komperhensif serta nyata sehingga berimplikasi pada lemahnya dukungan politik pada level lokal di Provinsi Papua.
Pemberian dana otonomi khusus dan tambahan Infrastruktur Provinsi Papua pada realitasnya kurang dimanfaatkan dengan baik, sehingga kebijakan otonomi khususbagi Provinsi Papua tidak serta merta dapat memberikan efek postif bagi perkembangan dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua sehingga penolakan masyaraka tterus meluntur. Adapun permasalahan yang mengemukan bahwa dalam pengelolaan dana otonomi khusus sering kali berbenturankepentingan dengan para implementor formal atau para agen pelaksana padastruktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Adapun hasil dari penggunaan anggaran tersebut pada kenyataanya tidak serta merta dapam meminimalisir penolakan masyarakat terhadap kebijakan otonomi khusus, melainkan masih melekatpada paradigma masyarakat pada pola anggaran yang tidak mencerminkan akuntabilitas keuangan.
Pada konsep karakteristik lembaga pelaksana sebagaimana Rondinelli dan Cheema (1983) dimana terdapat indiaktor dalam konsep ini yang terdiri dari; (1) teknis keterampilan, manajerial dan politik dari staf; (2) kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan keputusan; sumber daya politik agensi dan dukungan; efektivitas komunikasi internal; agen hubungandengan penerima program; hubungan dengan organisasi konstituen; kualitas kepemimpinan lembaga; komitmen staf untuk program lembaga dan lokasi lembaga dalam sistem administrasi.
Keterkaitan konsep karakteristik lembagapelaksana Rondinelli dan Cheema (1983) pada realitas implementasi kebijakan otonomi khususyaitu dimana tidak ditemukanya keterampilan teknis, manajerial dan dukungan politik yang baik pada implementor kebijakan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan suatu keputusan. Pada kenyataan sumber daya politik tidak memberikan ruang yang luas dalam meredam penolakan masyarakat dalam kebijakan otonomi khusus, dimana hal ini terjadi pada tidak adanya pola hubungan yang efektif dengan organisasi konsituen. Adapun kualitas lembaga pada kepemimpinan dan komitmen staf sejauh ini tidak mencerminkan sistem administrasi yang positif.
Kinerja dan dampak merupakan konsep dimana bagaimana kebijakan itu dapat dinilai, pada konseptersebut Rondinelli dan Cheema (1983) menjelaskan bahwa kinerja dan dampak tersebut terdiri dari; (1) Pencapaian tujuan kebijakan; (2) Mempengaruhi pada kapasitas administrasilokal dan kinerja; dan (3) Efek pada produktivitas, pendapatan, partisipasi,dan akses ke pelayanan pemerintah. Pada konsep ini, realitasnya kebijakan otonomi khusus  tidak memberikan kinerja dan dampak yang besar. Perlu diakui pula bahwa kenyataannya pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal oleh pemerintah daerah dan masyarakat Provinsi Papua dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.Selain dari pada itu, pemberlakukan otonomi khusus pada Provinsi Papua jugakurang memberikan dampak pada Indeks Pembangunan Manusia yang hanya mencapai 64,53 cukup jauh dibadingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang mencapai 71,76. Adapun nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan Provinsi Papua dapat dilihat dari Gambar  :
Gambar 1 dapat diketahui bahwa perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Provinsi Papua tentunya dapat dikatakan cukup jauh dengan nilai rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia secara umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pada pemberian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua kurang memberikan dampak dan kinerja yang besar padahal pada sektor pengelolaan/pemanfaat kebijakan otonomi khusus Papua.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan, hubungan interorganisasional dukungan sumber daya, karakteristik lembaga pelaksana, kinerja dan dampak sebagaimana Rondinelli dan Cheema (1983) tersebut tentunya bertolakbelakang dengan ekspestasi masyarakat Papua dalam memanfaatkan pemberian otonomi khusus Papua yang dibatasi selama 25 tahun. Ekspestasi tersebut kian tenggelam ketika model otonomi khusus Provinsi Papua belum memiliki cetak biru (blue print) atau disain besar (grand design) mengenai konsep otonomi asimetris yang akan dijalankan untuk jangka panjang. Perubahan yang terjadi pada umumnya dilakukan untuk jangka pendek dan sangat tergantung situasi politik pada saat undang-undang tentang otonomi daerah dibuat yang berimplikasi pada jalur yang seringkali menjadi tidak jelas dan membuat para penyelenggara pemerintahan daerah sulit menentukan prosedur yangjelas dalam implementasi kebijakan otonomi khusus.
Fenomena-fenomena permasalahan tersebut menunjukkan bahwa  perkembangannya penerapan otonomi asimetris (asyimmetricauthonomy) pada Provinsi Papua terkadang dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut terutama terkait dengan ketidakpahaman Pemerintah Nasional (Pusat) dan kelompok minoritas (Pemerintah Provinsi Papua) tentang apa yang seharusnya menjadi isi/substansi dari kebijakan tersebut, sebagai upaya bersama untuk memecahkan berbagai masalah kesejahteraan yang mengemuka. Kondisi ini semakin memburuk, ketika muncul penolakan masyarakat Papua mengenai model kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua. Penolakan tersebut tentunya memberikan efek besar terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agung Djojosoekarto. dkk. (2010) yang berjudul Kinerja Otonomi Khusus Papua. Adapun hasil penelitian menjelaskan bahwa kinerja Otsus masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipaham isebagai Special-Automoney. Kelemahan kinerja tersebut ditunjukkan dari pernyatan resmi yang disampaikan oleh pejabat Pemerintah Daerah pada berbagai kesempatan. Salah satu pernyataan resmi yang dinilai signifikan sebagai indikator rendahnya kinerja Otsus adalah pernyataan Gubernur Barnabas Suebu pada Sidang Paripurna perdana pembahasan RAPBD Papua.
Dyah Mutiarin (2010) dengan judul Pelaksanaan Desentralisasi Papua Di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan otonomi khusus di Papua dapat dilihat sebaga idesentralisasi yang asimetris karena kebijakan otonomi khusus tersebut masihsangat lemah dalam mencapai tujuan otonomi khusus terutama pada aspek kesehatan, mengurangi kemiskinan kronis, memberantas korupsi dan memecahkan masalah pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Daerah Papua juga menghadapi kapasitas pemerintahan yang lemah yang disebabkan karena tidak adanya sensitivitas Pemerintah daerah Provinsi Papua untuk mengadopsi pendekatan pembangunan untuk mengatasi masalah pembangunan di Papua. Hal ini juga menerangkan mengapa Pemerintah Daerah Provinsi Papua masih lemah kapasitasnya dalam menjalankan otonomi daerah yang tercermin dalam kehidupan birokrasi sehari-hari. (bersambung)

Respek Mulai Diprotes di Papua Oleh : Dominggus A Mampioper | 28-Feb-2008, 04:45:04 WIB

KabarIndonesia - Memang agak terlalu dini untuk menilai respek atau rencana pemberdayaan kampung banyak mengalami kendala di lapangan yang dicanangkan Gubernur Suebu. Pasalnya pelaksanaan baru berlangsung sekarang hingga perlu dinanti indikator keberhasilan. Namun masih saja ada pihak yang menilai program respek bisa gagal karena tidak memiliki petunjuk teknis (juknis) dan juga petunjuk pelaksana (juklak). Hal ini diungkapkan Ketua Komisi C DPRD Kabupaten Keerom Otniel Solossa kepada wartawan belum lama ini di Arso, Keerom.

"Saya menilai program ini bisa gagal karena tidak ada juknis dan juklaknya di lapangan bagi pelaksana," ujar Otis panggilan akrabnya di Arso Selasa (26/2). Karena saran dia sebaiknya dilakukan sesuai dengan juknis dan juklak yang ada sehingga tidak terkesan mubazir hingga gagal total. Namun yang jelas bagi mahasiswa program doctoral (S-3) Universitas Pajajaran Bandung, John Boekorsjom di Jayapuya Rabu (27/2) adalah sangat janggal kalau respek itu harus langsung ditangani provinsi. "Adalah sangat aneh kalau provinsi langsung ke lapangan sebab sudah ada tingkat kabupaten dan distrik. Sebaiknya berikan peluang kepada kabupaten dan distrik untuk melaksanakan kewajiban di lapangan," ujar Boekkorsjom.

Karena itu lanjut Boekorsjom marilah melihat aturan-aturan tentang pemberdayaan kampung atau desa salah satunya adalah Anggaran Dana Desa (ADD). "Jadi mengapa dana respek tidak bisa disinergikan langsung dengan anggaran dana desa sehingga juknis dan juklak yang dipersoalkan bisa terjawab," ujar Boekorsjom.

Lebih lanjut jelas Boekorsjom dalam ADD tersebut pertanggungan dana-dana sangat jelas dan dilakukan melalui Baperkam atau rapat perencanaan tingkat kampung." Model ini juga dikembangkan di Provinsi Jawa Timur. Bahkan mereka juga membuat program bagaimana memberdayakan perangkat kampung atau kelembagaan tingkat kampung," ujar Boekorsjom. Ditambahkan kalau sampai nanti program tersebut langsung ditangani oleh tingkat provinsi dikhawatirkan kabupaten dan distrik akan melihat serta menonton.


"Kalau sampai gagal mereka akan saling lempar tanggung jawab. Lalu menuding provinsi juga bikin salah sehingga bagi kami buat salah tidak apa apa. Ini yang celaka sebab tugas utama kedua lembaga pemerintah ini adalah melayani masyarakat," ujar Boekorsjom alumni Fisipol Unhas Makasar. http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=26&dn=20080227124806

Jumat, 17 Mei 2013

RPJP PROVINSI PAPUA MILIK SIAPA?



Tulisan ini telah dimuat pada Cenderawasih Pos Sabtu, 16 Mei 2013 Tajuk Opini Halaman 6

...hitam kulit keriting rambut..aku Papua..
biar nanti langit terbelah...aku (tetap) Papua.....
                                                                                                                       Aku Papua by Franky Sahilatua




Indonesia memiliki kesepakatan sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU 25 Tahun 2004. Perencanaan tersebut mengalir dari tingkat desa (atau sebutan lainnya) sebagai penyelenggara terujung pemerintahan sampai ke tingkat nasional pada ujung yang lain. Perencanaan ini mengalir setiap tahuan yang membentuk siklus perencanaan, penganggaran, pengendalian dan evaluasi pembangunan nasional dalam 2 tahun rotasi. Dalam sistem tersebut terjadi  2 arah gerakan perencanaan yaitu usulan masyarakat dari bawah (bottom up) dan usulan pemerintah untuk dilaksanakan di daerah (top down) yang kedua arus tersebut bersepakat untuk berpusar pada titik kepentingan pemenuhan kebutuhan (demond driven) dan bukan sekeder keingginan. Masing-masing tingkatan dan tahapan perencanaan diselenggarakan dengan memperhatikan proses yang partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon penerima manfaat (beneficieries address of) dan pihak-pihak yang kompeten dan memiliki otoritas. Tingkatan perencanaan berbanding lurus dengan tingkatan penyelenggara pemerintahan sebagai penggabungan perencanaan sektoral dan kewilayahan (spacial). Pelaksanaan perencanaan pada masing-masing tingkatan dan tahapan mensyaratkan adanya kepercayaan (trust) pada masing-masing pemilik otoritas perencanaan, dengan saling memberikan mandat pelaksanaan pembangunan pada skala (wide) masing-masing. Kepercayaan tersebut diuji oleh komitmen para penerima mandat yang hasilnya akan mempengaruhi motivasi masyarakat terlibat dalam proses pembangunan. Para perencana di tingkat desa mempercayakan pemiliki otoritas di tingkat distrik dan kabupaten untuk dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka melalui delegasi yang tersepakati dalam musrenbang masing-masing tingkatan dan keterwakilan politik daerah pemilihan masing-masing. Apatisme masyarakat terhadap proses perencanaan lebih diakibatkan oleh ketidak konsistenan (tidak amanah) para penerima mandat dan keterwakilan politik untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan penyelesaian masalah yang hadapi masyarakat saat ini. Dengan demikian, sistem perencanaan memaknai Indonesia sebagai wilayah perencanaan secara holistik dan integral dalam satu kesatuan sistem perencaanaan.

Dengan terjadinya perubahan tingkatan dan jenis kebutuhan masyarakat dan penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalahnya, maka substansi perencanaan berada pada ketidakpastian dimensional (ruang dan waktu) karena perencanaan menghadapi keniscayaan perubahan dan harus mengakomodir perubahan itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan satu kesepakatan arah substansi perencanaan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan yang mengakomodir dimensi ruang dan waktu. Untuk itu, harus disiapkan jenis perencanaan yang berbeda tingkataan (skala) nya dengan asumsi bahwa setiap wilayah pembangunan akan memiliki tingkatan kebutuhan yang berbeda akibat dari ketersediaan sumberdaya yang berbeda, dan waktu pelaksanaanya yang berbeda pula. Dengan demikian dibutuhkan dokumen perencanaan yang mengakomodir perbedaan skala perencanaan dan tingkatan waktu pencapaiannya. Dalam sistem perencanaan pembangunan ditetapkan tingkatan dokumen perencanaan berupa RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) untuk 20 tahun, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) untuk 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) sebagai rencana pembangunan tahunan  yang diterjemahkan dalam RENJA (Rencana Kerja) Tahunan sektoral oleh SKPD. Masing-masing dokumen perencanaan tersebut tersedia disetiap tingkatan kewilayahan pembangunan nasional, provinsi, kabupaten/kota.Substansi mandat pembangunan yang terkandung didalam masing-masing tingkatan dokumen perencanaan tersebut berbeda-beda dengan mempertimbangkan skala pelaksanaannya (model piramida terbalik sempurna). RPJP merupakan perencanaan jangka panjang 20 tahun yang berposisi sebagai rujukan perencanaan jangka menengah 5 tahunan disuatu kawasan perencanaan tertentu. Dengan demikian, RPJP merupakan dokumen publik milik warga wilayah (citizen own)  sebagai pemilik kedaulatan, yang merupakan mandat tertulis yang berisi visi 20 tahunan warga yang harus dilaksanakan oleh pemegang mandat (penyelenggara pemerintahan) dalam periode masing-masing. Dengan demikian, mandat tertulis tersebut berisi substansi yang dipastikan akan menjawab visi (bukan mimpi) warga dalam dua dekade kedepan untuk mendapatkan suatu kondisi dimasa depan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang berpijak dari permasalahan kekinian dalam rajutan budaya dan kearifan lokal yang terpertahankan. Dengan demikian, perencanaan jangka panjang harus mampu menjawab permasalahan substansial warga di masa depan sekaligus mengendalian kepentingan politik pemerintahan dengan visi pemimpin yang fluktuatif, inkonsisten dan penuh kepentingan (interest).
RPJP-PAPUA – melangkah diatas ketidakpastian
Dalam konteks Papua, pemerintah melimpahkan berbagai kewenangan dengan berbagai tambahan kewenangan khusus sebagai bentuk kompensasi politik atas penyelenggaraan pembangunan dan kondisi tidak biasa yang terjadi berkaitan dengan berbagai ketertinggalam pembangunan. Pelimpahan kewenangan lebih tersebut dibingkai dalam bentuk otonomi khusus yang disahkan melalui undang-undang yang mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan era otonomi khusus yang akan ditinjau kembali penyelenggaraanya setelah 25 tahun berjalan. Pelimpahan kewenangan ini harus dibarengi dengan penguatan kapasitas melalui pendampingan dan penyediaan sumber daya tambahan melalui dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus disikapi sebagai stimululasi untuk percepatan  peningkatan kapasitas penyelenggara pemerintahan sehingga dapat melaksanakan berbagai kewenangan dalam penyelenggaraan pembangunan secara lebih cepat, jelas, sistematis dan terukur. Leadership (kualitas kepemimpinan) menjadi kata kunci sukses untuk dapat menyediakan berbagai pertanyaan dan jawaban secara demokratis kontekstual Papua dengan tanpa mendominasi definisi sehingga tetap akomodatif. Ketiadaan leadership akan membawa arus perjalanan bangsa menjadi tanpa arah dan haluan dan bisajadi justru terjebak dalam personifikasi leader sebagai haluan itu sendiri (planning is leader voice). Demokrasi kontekstual mengakomodir dokumen perencanaan dengan kekuatan kebijaksanaan pemimpin dalam penyelenggaraanya, dengan tetap berdiri sebagai pengayom dan pelayan. Perjalanan otonomi khusus 11 tahun yang lalu dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan tanpa ada mandat substansi dari warga pemilik kedaulatan, karena terbukti hingga tahun 2012 tidak tersedia RPJP Papua. Jika kita sepakat dengan analisis diatas, maka RPJP di Papua telah tergantikan oleh personifikasi pemimpin yang telah menempatkan alam pikirannya sebagai “seakan-akan” mandat warga bangsa Papua. Dalam kondisi warga bangsa yang miskin pengetahuan dan kapasitas hak warga, maka yang dapat dilakukan hanya diam dan membiarkan semua terjadi sebagai pemberontakan dan perlawanan tertinggi dari kaum marjinal papah.
Belajar dari pengalaman di atas, maka jika kembali pada UU 25 Tahun 2004 ttg sistem perencanaan pembangunan nasional, maka pemerintah memberikan mandat penuh kepada kepala bappeda sebagai representasi lembaga perencana pembangunan ditingkat provinsi Papua untuk berinisiatif secara sadar dan cerdar menyiapkan ruang bagi stakeholder warga bangsa Papua (perwakilan adat, bijak ilmu, agawan etc) untuk menetapkan mandatnya dalam satu dokumen tertulis dan berdimensi waktu 20 tahun. Mandat tersebut akan membingkai kepentingan warga bangsa Papua dalam mengedalikan pencapaian citas-cita besar bersama yang difragmentasi dalam periodikal 5 tahunan perencanaan dalam tema-tema pembangunan. Visi sebagai mandat tersebut harus mencerminkan upaya bangkit dari ketertinggalan dimensional, sehingga harus fokus pada kekuatan internal, berdaya ungkit (dimensi sosio kultur), lompatan (revolutif), dan bermasadepan (prospektif). RPJP juga memberikan jaminan keterikatan  antar komponen pembangunan untuk menyatukan energi pada satu frekwensi dari berbagai massajenis anak bangsa dalam satu gelombang dhsyat kekuatan yang inspiratif. UU SPPN mengamanatkan penetapan RPJP dalam sebuah peraturan daerah. Dalam konteks UU Otsus, peraturan daerah dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan substansi dan rentang kendali dari peraturan tersebut. Perdasi adalah peraturan daerah provinsi yang bersifat normatif dalam penyelenggaraan urusan dasar pemerintahan dan ditetap oleh penyelenggara pemerintahan otonomi daerah yaitu gubernur dan DPRP. Perdasus adalah peraturan daerah khusus yang bersifat kontekstual dan ditetapkan oleh penyelenggara pemerintah era otonomi khsusus yaitu gubernur, DPRP dan MRP. 
Dengan menyadari ketersediaan kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan era otonomi khusus Papua maka struktur dokumen perencanaan harus ditetapkan secara khusus dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS). Dampak dari penetapan RPJP dalam Perdasus adalah MRP sebagai pemegang otoritas kultur bangsa Papua akan terlibat secara aktif dan konstruktif mengendalikan arah pelaksanaan mandat warga bangsa Papua dalam perencanaan jangka menengah (RPJMD) dan realisasi dalam RKPD. Dengan demikian, tidak hanya duduk dimenara gading penjaga kultur Papua, tetapi secara teknis mengontrol gubernur dan DPRP dalam menyelenggarakan pemerintahan untuk pelaksanaan pembangunan sesuai mandat koridor pembangunan dalam RPJP. Dalam setiap awal penyusunan RPJMD, MRP akan mengkaji adanya konsistensi benang merah pencapaian mandat visi bangsa Papua pada fragmentasi perencanaan periodik tertentu. Jika tidak tersedia atau tidak konsisten deminesinya, maka MRP dapat mengajukan class action atas in-konsistensi pemerintah menjalankan mandat UU 25/2004 dan UU 21/2001. Untuk membantu menjembatani antara koridor pembangunan dalam RPJP dengan RPJMD maka pemerintah dapat menyusun grand design pembangunan dalam tematik isu (sektoral/multy sector) untuk menterjemahkan RPJP dalam Peta Jalan (road mapp) pencapaian fragmentasi periodik secara konsisten dan lebih gamblang. Berbagai inovasi harus digali dan disepakati untuk memastikan terjadinya lompatan melalui penyediaan fokus pembangunan yang strategis dan menjamin peningkatan harkat dan martabat hidup warga bangsa Papua. Secara teknis, fokus pembangunan strategis di Papua yang membutuhkan pemenuhan dalam jangka panjang yang berdampak sistemik adalah pembangunan mega-energi terbaharukan, penyediaan  infrastruktur strategis, pertumbuhan sektor riil berbasis SDA dan kultur, fundamental ekonomi Papua yang kokoh dan bangsa Papua yang bermartabat, berkarakter unggul Papua. Untuk menjalankan peran ini, dibutuhkan kapasitas yang cukup bagi trisula penyelenggara pemerintahan era otsus (legislatif, eksekutif dan MRP).  Setiap taji trisula harus dengan sadar meningkatkan kepantasan (fit) sehingga patut (proper) sebagai penyelenggara pemerintahan era otonomi khusus. Jika salah satu taji trisula tumpul maka tidak akan dapat mencapai hasil yang maksimal. Disisi lain, warga (citizen) sebagai pemilik mandat sesungguhnya juga harus meningkatkan kepantasan kapasitas untuk terlibat dalam proses pengembangan kebijakan dan penyelenggara pemerintah. Dengan kondisi ini, semua berpulang kepada warga bangsa Papua untuk menyatukan tekat dan kemauan bangkit dari ketertinggalan dimensional dengan menanggalkan ego sempit kesukuan dan kelompok kepentingan.   

Selamat berjuang... PAPUA BANGKIT, MANDIRI DAN SEJAHTERA MENUJU PERADABAN PAPUA BARU.
Angkasapura, 14 Mei 2013

John J. Boekorsjom (Pemerhati Sosial)