Rondinelli dan Cheema(1983:25) menjelaskan mengenai ruanglingkup lingkungan ini mencakup struktur politik, prosespembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal, faktor budaya sosial, organisasipenerima manfaat program dan kecukupan infrastruktur fisik. Pada konsep ini Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua tentunya harusdidukung juga dengan kondisi lingkungan sebagaimana Rondinellidan Cheema (1983) dimana pada kontekstersebut kondisi lingkungan dalam pemberlakukan otonomi khusus sangatmempengaruhi suatu implementasi kebijakan.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan pada
kebijakan otonomi khusus bagi Papua pada kenyataan terjadi penolakan
masyarakat mengenai berbagai cakupan dari lingkungan kebijakan otonomi
khusus. Kebijakan otonomi khusus tidak dipandang lagi sebagai kebijakan
yang dapat memberikan struktur politik yang jelas, proses pembuatan
kebijakan yang dipandang tidak komperhensif, kurang memberikan struktur
kekuasaan lokal, kurang adanya penghargaan pada budaya lokal, kurang
adanya pengorganisasian dalam pemanfaatan program kebijakan, serta
kurang adanya akselerasi percepatan pembangunan infrastruktur di Papua.
Sebagaimana Rondinelli dan
Cheema(1983:25), dimana hubungan interorganisasional merupakan faktor
penting dalam suatu kebijakan desentralsiasi, adapun indikator pada
faktor ini yaitu mencakup kejelasan dan konsistensi tujuan program,
sesuaia lokasi efektivitas fungsi prosedur perencanaan, penganggaran
dan pelaksanaan, kualitas antar-organisasi komunikasi dan efektivitas
keterkaitan antara organisasi.
Pada keterkaitan dengan hasil otonomi
khusus Papua dimana masih terdapat ketidakjelasan berbagai tujuan dari
pemberlakukan kebijakan, ketidakjelasan tersebut muncul ketika belum
adanya konsep ideal dalam pemberlakukan dan pencapaia tujuan dari
pemberlakukan otonomi khusus Papua. Selain itu, masih ditemukanya
inefektivitas mengenai fungsi prosedur pada perencanaan, penganggaran
dan pelaksanaan khususnya mengenai kurangnya sinergiritas antara MRP,
DPRP dan Gubernur.Ketidaksinergiritas tersebut seringkali ditemukan
pada konsep pembuatan kebijakan seperti pembahasan RAPBD dimana hal ini
memberikan implikasi pada inefektivitas pada hubungan antara
organisasi. Terjadinya ketidakefektifan pola hubungan antar organisasi
pada kebijakan otonomi khusus tersebut menyebabkan semakin derasnya
penolakan masyarakat mengenai model kebijakan otonomi khusus Papua,hal
tersebut dapat diketahui melalui berbagai aksi demonstrasi masyarakat
Papua dalam menolak otonomi khusus Papua.
Fenomena lain muncul ketika implementasi
kebijakan otonomi khusus bukansaja memerlukan dukungan sinergiritas
semata, melainkan juga pada dukungan sumber daya untuk pelaksanaan
kebijakan otonomi khusus Papua. Sebagaimana Rondinelli dan Cheema(1983)
yang menjelaskan bahwa terdapat indikator dalam dukungan sumber daya
untuk pelaksanaan kebijakan yang terdiri dari kontrol atas dana,
kecukupan anggaran, ketersediaan sumber daya anggaran, dukungan dari
para pemimpin politik nasional, dukungan dari para pemimpin politik
lokal dan dukungan birokrasi nasional.
Pada konteks dukungan sumberdaya untuk
pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, tidak dapat dipungkuri
bahwa masih terdapat penolakan masyarakat mengenai model kebijakan
khususnyaanggaran dalam menunjang berbagai program otonomi khusus.
Penolakan tersebut berdasarkan pada tidak adanya kontrol atas anggaran,
ketidakcukupan anggarandalam menunjang anggaran, ketidaktersediaan
sumber daya anggaran yang hanya 2% dari plafon Dana Alokasi Umum
Nasional. Hal-hal tersebut ditambah lagi dengan tidak adanya dukungan
birokrasi dan tidakadanya dukungan polikitik dari pusat yang lebih
komperhensif serta nyata sehingga berimplikasi pada lemahnya dukungan
politik pada level lokal di Provinsi Papua.
Pemberian dana otonomi khusus dan tambahan
Infrastruktur Provinsi Papua pada realitasnya kurang dimanfaatkan
dengan baik, sehingga kebijakan otonomi khususbagi Provinsi Papua tidak
serta merta dapat memberikan efek postif bagi perkembangan dari upaya
peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua sehingga penolakan
masyaraka tterus meluntur. Adapun permasalahan yang mengemukan bahwa
dalam pengelolaan dana otonomi khusus sering kali
berbenturankepentingan dengan para implementor formal atau para agen
pelaksana padastruktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan
yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi suatu kebijakan. Adapun hasil dari penggunaan anggaran
tersebut pada kenyataanya tidak serta merta dapam meminimalisir
penolakan masyarakat terhadap kebijakan otonomi khusus, melainkan masih
melekatpada paradigma masyarakat pada pola anggaran yang tidak
mencerminkan akuntabilitas keuangan.
Pada konsep karakteristik lembaga
pelaksana sebagaimana Rondinelli dan Cheema (1983) dimana terdapat
indiaktor dalam konsep ini yang terdiri dari; (1) teknis keterampilan,
manajerial dan politik dari staf; (2) kapasitas untuk
mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan keputusan; sumber
daya politik agensi dan dukungan; efektivitas komunikasi internal;
agen hubungandengan penerima program; hubungan dengan organisasi
konstituen; kualitas kepemimpinan lembaga; komitmen staf untuk program
lembaga dan lokasi lembaga dalam sistem administrasi.
Keterkaitan konsep karakteristik
lembagapelaksana Rondinelli dan Cheema (1983) pada realitas
implementasi kebijakan otonomi khususyaitu dimana tidak ditemukanya
keterampilan teknis, manajerial dan dukungan politik yang baik pada
implementor kebijakan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya
kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan
suatu keputusan. Pada kenyataan sumber daya politik tidak memberikan
ruang yang luas dalam meredam penolakan masyarakat dalam kebijakan
otonomi khusus, dimana hal ini terjadi pada tidak adanya pola hubungan
yang efektif dengan organisasi konsituen. Adapun kualitas lembaga pada
kepemimpinan dan komitmen staf sejauh ini tidak mencerminkan sistem
administrasi yang positif.
Kinerja dan dampak merupakan konsep dimana
bagaimana kebijakan itu dapat dinilai, pada konseptersebut Rondinelli
dan Cheema (1983) menjelaskan bahwa kinerja dan dampak tersebut terdiri
dari; (1) Pencapaian tujuan kebijakan; (2) Mempengaruhi pada kapasitas
administrasilokal dan kinerja; dan (3) Efek pada produktivitas,
pendapatan, partisipasi,dan akses ke pelayanan pemerintah. Pada konsep
ini, realitasnya kebijakan otonomi khusus tidak memberikan kinerja dan
dampak yang besar. Perlu diakui pula bahwa kenyataannya pengelolaan
dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan
secara optimal oleh pemerintah daerah dan masyarakat Provinsi Papua
dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.Selain dari pada
itu, pemberlakukan otonomi khusus pada Provinsi Papua jugakurang
memberikan dampak pada Indeks Pembangunan Manusia yang hanya mencapai
64,53 cukup jauh dibadingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia yang mencapai 71,76. Adapun nilai Indeks Pembangunan Manusia
Indonesia dan Provinsi Papua dapat dilihat dari Gambar :
Gambar 1 dapat diketahui bahwa
perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Provinsi Papua
tentunya dapat dikatakan cukup jauh dengan nilai rata-rata Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia secara umum. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kontribusi pada pemberian kebijakan otonomi khusus bagi
Provinsi Papua kurang memberikan dampak dan kinerja yang besar padahal
pada sektor pengelolaan/pemanfaat kebijakan otonomi khusus Papua.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan,
hubungan interorganisasional dukungan sumber daya, karakteristik
lembaga pelaksana, kinerja dan dampak sebagaimana Rondinelli dan Cheema
(1983) tersebut tentunya bertolakbelakang dengan ekspestasi masyarakat
Papua dalam memanfaatkan pemberian otonomi khusus Papua yang dibatasi
selama 25 tahun. Ekspestasi tersebut kian tenggelam ketika model otonomi khusus Provinsi Papua belum memiliki cetak biru (blue print) atau disain besar (grand design)
mengenai konsep otonomi asimetris yang akan dijalankan untuk jangka
panjang. Perubahan yang terjadi pada umumnya dilakukan untuk jangka
pendek dan sangat tergantung situasi politik pada saat undang-undang
tentang otonomi daerah dibuat yang berimplikasi pada jalur yang
seringkali menjadi tidak jelas dan membuat para penyelenggara
pemerintahan daerah sulit menentukan prosedur yangjelas dalam
implementasi kebijakan otonomi khusus.
Fenomena-fenomena permasalahan tersebut menunjukkan bahwa perkembangannya penerapan otonomi asimetris (asyimmetricauthonomy) pada Provinsi Papua terkadang dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut terutama terkait dengan ketidakpahaman Pemerintah Nasional (Pusat) dan kelompok minoritas (Pemerintah Provinsi Papua) tentang apa yang seharusnya menjadi isi/substansi dari kebijakan tersebut, sebagai upaya bersama untuk memecahkan berbagai masalah kesejahteraan yang mengemuka. Kondisi ini semakin memburuk, ketika muncul penolakan
masyarakat Papua mengenai model kebijakan otonomi khusus Provinsi
Papua. Penolakan tersebut tentunya memberikan efek besar terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agung Djojosoekarto. dkk. (2010) yang berjudul Kinerja Otonomi Khusus Papua. Adapun hasil penelitian menjelaskan bahwa kinerja Otsus masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipaham isebagai Special-Automoney. Kelemahan
kinerja tersebut ditunjukkan dari pernyatan resmi yang disampaikan
oleh pejabat Pemerintah Daerah pada berbagai kesempatan. Salah satu
pernyataan resmi yang dinilai signifikan sebagai indikator rendahnya
kinerja Otsus adalah pernyataan Gubernur Barnabas Suebu pada Sidang
Paripurna perdana pembahasan RAPBD Papua.
Dyah Mutiarin (2010) dengan judul
Pelaksanaan Desentralisasi Papua Di Indonesia. Hasil penelitian ini
menunjukan bahwa pelaksanaan otonomi khusus di Papua dapat dilihat
sebaga idesentralisasi yang asimetris karena kebijakan otonomi khusus
tersebut masihsangat lemah dalam mencapai tujuan otonomi khusus
terutama pada aspek kesehatan, mengurangi kemiskinan kronis,
memberantas korupsi dan memecahkan masalah pelanggaran hak asasi
manusia. Pemerintah Daerah Papua juga menghadapi kapasitas pemerintahan
yang lemah yang disebabkan karena tidak adanya sensitivitas Pemerintah
daerah Provinsi Papua untuk mengadopsi pendekatan pembangunan untuk
mengatasi masalah pembangunan di Papua. Hal ini juga menerangkan mengapa
Pemerintah Daerah Provinsi Papua masih lemah kapasitasnya dalam
menjalankan otonomi daerah yang tercermin dalam kehidupan birokrasi
sehari-hari. (bersambung)