Tulisan ini telah dimuat pada Cenderawasih Pos Sabtu, 16 Mei 2013 Tajuk Opini Halaman 6
...hitam kulit keriting rambut..aku Papua..
biar nanti langit terbelah...aku (tetap) Papua.....
Aku Papua by Franky Sahilatua
Indonesia memiliki kesepakatan sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU 25 Tahun 2004. Perencanaan tersebut mengalir dari tingkat desa (atau sebutan lainnya) sebagai penyelenggara terujung pemerintahan sampai ke tingkat nasional pada ujung yang lain. Perencanaan ini mengalir setiap tahuan yang membentuk siklus perencanaan, penganggaran, pengendalian dan evaluasi pembangunan nasional dalam 2 tahun rotasi. Dalam sistem tersebut terjadi 2 arah gerakan perencanaan yaitu usulan masyarakat dari bawah (bottom up) dan usulan pemerintah untuk dilaksanakan di daerah (top down) yang kedua arus tersebut bersepakat untuk berpusar pada titik kepentingan pemenuhan kebutuhan (demond driven) dan bukan sekeder keingginan. Masing-masing tingkatan dan tahapan perencanaan diselenggarakan dengan memperhatikan proses yang partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon penerima manfaat (beneficieries address of) dan pihak-pihak yang kompeten dan memiliki otoritas. Tingkatan perencanaan berbanding lurus dengan tingkatan penyelenggara pemerintahan sebagai penggabungan perencanaan sektoral dan kewilayahan (spacial). Pelaksanaan perencanaan pada masing-masing tingkatan dan tahapan mensyaratkan adanya kepercayaan (trust) pada masing-masing pemilik otoritas perencanaan, dengan saling memberikan mandat pelaksanaan pembangunan pada skala (wide) masing-masing. Kepercayaan tersebut diuji oleh komitmen para penerima mandat yang hasilnya akan mempengaruhi motivasi masyarakat terlibat dalam proses pembangunan. Para perencana di tingkat desa mempercayakan pemiliki otoritas di tingkat distrik dan kabupaten untuk dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka melalui delegasi yang tersepakati dalam musrenbang masing-masing tingkatan dan keterwakilan politik daerah pemilihan masing-masing. Apatisme masyarakat terhadap proses perencanaan lebih diakibatkan oleh ketidak konsistenan (tidak amanah) para penerima mandat dan keterwakilan politik untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan penyelesaian masalah yang hadapi masyarakat saat ini. Dengan demikian, sistem perencanaan memaknai Indonesia sebagai wilayah perencanaan secara holistik dan integral dalam satu kesatuan sistem perencaanaan.
Dengan
terjadinya perubahan tingkatan dan jenis kebutuhan masyarakat dan penyelenggara
pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam memenuhi kebutuhan dan
penyelesaian masalahnya, maka substansi perencanaan berada pada ketidakpastian
dimensional (ruang dan waktu) karena perencanaan menghadapi keniscayaan
perubahan dan harus mengakomodir perubahan itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan
satu kesepakatan arah substansi perencanaan yang dituangkan dalam dokumen
perencanaan yang mengakomodir dimensi ruang dan waktu. Untuk itu, harus
disiapkan jenis perencanaan yang berbeda tingkataan (skala) nya dengan asumsi
bahwa setiap wilayah pembangunan akan memiliki tingkatan kebutuhan yang berbeda
akibat dari ketersediaan sumberdaya yang berbeda, dan waktu pelaksanaanya yang
berbeda pula. Dengan demikian dibutuhkan dokumen perencanaan yang mengakomodir
perbedaan skala perencanaan dan tingkatan waktu pencapaiannya. Dalam sistem
perencanaan pembangunan ditetapkan tingkatan dokumen perencanaan berupa RPJP
(Rencana Pembangunan Jangka Panjang) untuk 20 tahun, RPJM (Rencana Pembangunan
Jangka Menengah) untuk 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah)
sebagai rencana pembangunan tahunan yang
diterjemahkan dalam RENJA (Rencana Kerja) Tahunan sektoral oleh SKPD.
Masing-masing dokumen perencanaan tersebut tersedia disetiap tingkatan
kewilayahan pembangunan nasional, provinsi, kabupaten/kota.Substansi mandat
pembangunan yang terkandung didalam masing-masing tingkatan dokumen perencanaan
tersebut berbeda-beda dengan mempertimbangkan skala pelaksanaannya (model
piramida terbalik sempurna). RPJP merupakan perencanaan jangka panjang 20 tahun
yang berposisi sebagai rujukan perencanaan jangka menengah 5 tahunan disuatu
kawasan perencanaan tertentu. Dengan demikian, RPJP merupakan dokumen publik
milik warga wilayah (citizen own) sebagai pemilik kedaulatan, yang merupakan
mandat tertulis yang berisi visi 20 tahunan warga yang harus dilaksanakan oleh
pemegang mandat (penyelenggara pemerintahan) dalam periode masing-masing.
Dengan demikian, mandat tertulis tersebut berisi substansi yang dipastikan akan
menjawab visi (bukan mimpi) warga dalam dua dekade kedepan untuk mendapatkan
suatu kondisi dimasa depan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang berpijak
dari permasalahan kekinian dalam rajutan budaya dan kearifan lokal yang
terpertahankan. Dengan demikian, perencanaan jangka panjang harus mampu
menjawab permasalahan substansial warga di masa depan sekaligus mengendalian
kepentingan politik pemerintahan dengan visi pemimpin yang fluktuatif,
inkonsisten dan penuh kepentingan (interest).
RPJP-PAPUA
– melangkah diatas ketidakpastian
Dalam
konteks Papua, pemerintah melimpahkan berbagai kewenangan dengan berbagai
tambahan kewenangan khusus sebagai bentuk kompensasi politik atas
penyelenggaraan pembangunan dan kondisi tidak biasa yang terjadi berkaitan
dengan berbagai ketertinggalam pembangunan. Pelimpahan kewenangan lebih
tersebut dibingkai dalam bentuk otonomi khusus yang disahkan melalui
undang-undang yang mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan era otonomi
khusus yang akan ditinjau kembali penyelenggaraanya setelah 25 tahun berjalan.
Pelimpahan kewenangan ini harus dibarengi dengan penguatan kapasitas melalui
pendampingan dan penyediaan sumber daya tambahan melalui dana otonomi khusus.
Dana otonomi khusus disikapi sebagai stimululasi untuk percepatan peningkatan kapasitas penyelenggara
pemerintahan sehingga dapat melaksanakan berbagai kewenangan dalam
penyelenggaraan pembangunan secara lebih cepat, jelas, sistematis dan terukur.
Leadership (kualitas kepemimpinan) menjadi kata kunci sukses untuk dapat
menyediakan berbagai pertanyaan dan jawaban secara demokratis kontekstual Papua
dengan tanpa mendominasi definisi sehingga tetap akomodatif. Ketiadaan
leadership akan membawa arus perjalanan bangsa menjadi tanpa arah dan haluan
dan bisajadi justru terjebak dalam personifikasi leader sebagai haluan itu
sendiri (planning is leader voice). Demokrasi kontekstual mengakomodir dokumen
perencanaan dengan kekuatan kebijaksanaan pemimpin dalam penyelenggaraanya,
dengan tetap berdiri sebagai pengayom dan pelayan. Perjalanan otonomi khusus 11
tahun yang lalu dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan tanpa ada mandat
substansi dari warga pemilik kedaulatan, karena terbukti hingga tahun 2012
tidak tersedia RPJP Papua. Jika kita sepakat dengan analisis diatas, maka RPJP
di Papua telah tergantikan oleh personifikasi pemimpin yang telah menempatkan
alam pikirannya sebagai “seakan-akan” mandat warga bangsa Papua. Dalam kondisi
warga bangsa yang miskin pengetahuan dan kapasitas hak warga, maka yang dapat
dilakukan hanya diam dan membiarkan semua terjadi sebagai pemberontakan dan
perlawanan tertinggi dari kaum marjinal papah.
Belajar
dari pengalaman di atas, maka jika kembali pada UU 25 Tahun 2004 ttg sistem
perencanaan pembangunan nasional, maka pemerintah memberikan mandat penuh
kepada kepala bappeda sebagai representasi lembaga perencana pembangunan
ditingkat provinsi Papua untuk berinisiatif secara sadar dan cerdar menyiapkan
ruang bagi stakeholder warga bangsa Papua (perwakilan adat, bijak ilmu, agawan
etc) untuk menetapkan mandatnya dalam satu dokumen tertulis dan berdimensi
waktu 20 tahun. Mandat tersebut akan membingkai kepentingan warga bangsa Papua
dalam mengedalikan pencapaian citas-cita besar bersama yang difragmentasi dalam
periodikal 5 tahunan perencanaan dalam tema-tema pembangunan. Visi sebagai
mandat tersebut harus mencerminkan upaya bangkit dari ketertinggalan dimensional,
sehingga harus fokus pada kekuatan internal, berdaya ungkit (dimensi sosio
kultur), lompatan (revolutif), dan bermasadepan (prospektif). RPJP juga
memberikan jaminan keterikatan antar
komponen pembangunan untuk menyatukan energi pada satu frekwensi dari berbagai
massajenis anak bangsa dalam satu gelombang dhsyat kekuatan yang inspiratif. UU
SPPN mengamanatkan penetapan RPJP dalam sebuah peraturan daerah. Dalam konteks
UU Otsus, peraturan daerah dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan substansi dan
rentang kendali dari peraturan tersebut. Perdasi adalah peraturan daerah
provinsi yang bersifat normatif dalam penyelenggaraan urusan dasar pemerintahan
dan ditetap oleh penyelenggara pemerintahan otonomi daerah yaitu gubernur dan
DPRP. Perdasus adalah peraturan daerah khusus yang bersifat kontekstual dan
ditetapkan oleh penyelenggara pemerintah era otonomi khsusus yaitu gubernur,
DPRP dan MRP.
Dengan
menyadari ketersediaan kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan era
otonomi khusus Papua maka struktur dokumen perencanaan harus ditetapkan secara
khusus dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS). Dampak dari penetapan
RPJP dalam Perdasus adalah MRP sebagai pemegang otoritas kultur bangsa Papua
akan terlibat secara aktif dan konstruktif mengendalikan arah pelaksanaan
mandat warga bangsa Papua dalam perencanaan jangka menengah (RPJMD) dan
realisasi dalam RKPD. Dengan demikian, tidak hanya duduk dimenara gading
penjaga kultur Papua, tetapi secara teknis mengontrol gubernur dan DPRP dalam
menyelenggarakan pemerintahan untuk pelaksanaan pembangunan sesuai mandat
koridor pembangunan dalam RPJP. Dalam setiap awal penyusunan RPJMD, MRP akan
mengkaji adanya konsistensi benang merah pencapaian mandat visi bangsa Papua
pada fragmentasi perencanaan periodik tertentu. Jika tidak tersedia atau tidak
konsisten deminesinya, maka MRP dapat mengajukan class action atas in-konsistensi pemerintah menjalankan mandat UU
25/2004 dan UU 21/2001. Untuk membantu menjembatani antara koridor pembangunan
dalam RPJP dengan RPJMD maka pemerintah dapat menyusun grand design pembangunan dalam tematik isu (sektoral/multy sector)
untuk menterjemahkan RPJP dalam Peta Jalan (road
mapp) pencapaian fragmentasi periodik secara konsisten dan lebih gamblang. Berbagai
inovasi harus digali dan disepakati untuk memastikan terjadinya lompatan
melalui penyediaan fokus pembangunan yang strategis dan menjamin peningkatan
harkat dan martabat hidup warga bangsa Papua. Secara teknis, fokus pembangunan
strategis di Papua yang membutuhkan pemenuhan dalam jangka panjang yang
berdampak sistemik adalah pembangunan mega-energi terbaharukan, penyediaan infrastruktur strategis, pertumbuhan sektor
riil berbasis SDA dan kultur, fundamental ekonomi Papua yang kokoh dan bangsa
Papua yang bermartabat, berkarakter unggul Papua. Untuk menjalankan peran ini,
dibutuhkan kapasitas yang cukup bagi trisula penyelenggara pemerintahan era
otsus (legislatif, eksekutif dan MRP).
Setiap taji trisula harus dengan sadar meningkatkan kepantasan (fit) sehingga
patut (proper) sebagai penyelenggara pemerintahan era otonomi khusus. Jika
salah satu taji trisula tumpul maka tidak akan dapat mencapai hasil yang
maksimal. Disisi lain, warga (citizen) sebagai pemilik mandat sesungguhnya juga
harus meningkatkan kepantasan kapasitas untuk terlibat dalam proses
pengembangan kebijakan dan penyelenggara pemerintah. Dengan kondisi ini, semua
berpulang kepada warga bangsa Papua untuk menyatukan tekat dan kemauan bangkit
dari ketertinggalan dimensional dengan menanggalkan ego sempit kesukuan dan kelompok
kepentingan.
Selamat berjuang... PAPUA BANGKIT, MANDIRI DAN SEJAHTERA MENUJU PERADABAN PAPUA BARU.Angkasapura, 14 Mei 2013
John
J. Boekorsjom (Pemerhati Sosial)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar