"Honesty is the Best Policy Politics"

Jumat, 17 Mei 2013

RPJP PROVINSI PAPUA MILIK SIAPA?



Tulisan ini telah dimuat pada Cenderawasih Pos Sabtu, 16 Mei 2013 Tajuk Opini Halaman 6

...hitam kulit keriting rambut..aku Papua..
biar nanti langit terbelah...aku (tetap) Papua.....
                                                                                                                       Aku Papua by Franky Sahilatua




Indonesia memiliki kesepakatan sistem perencanaan pembangunan yang diatur dalam UU 25 Tahun 2004. Perencanaan tersebut mengalir dari tingkat desa (atau sebutan lainnya) sebagai penyelenggara terujung pemerintahan sampai ke tingkat nasional pada ujung yang lain. Perencanaan ini mengalir setiap tahuan yang membentuk siklus perencanaan, penganggaran, pengendalian dan evaluasi pembangunan nasional dalam 2 tahun rotasi. Dalam sistem tersebut terjadi  2 arah gerakan perencanaan yaitu usulan masyarakat dari bawah (bottom up) dan usulan pemerintah untuk dilaksanakan di daerah (top down) yang kedua arus tersebut bersepakat untuk berpusar pada titik kepentingan pemenuhan kebutuhan (demond driven) dan bukan sekeder keingginan. Masing-masing tingkatan dan tahapan perencanaan diselenggarakan dengan memperhatikan proses yang partisipatif dengan melibatkan perwakilan calon penerima manfaat (beneficieries address of) dan pihak-pihak yang kompeten dan memiliki otoritas. Tingkatan perencanaan berbanding lurus dengan tingkatan penyelenggara pemerintahan sebagai penggabungan perencanaan sektoral dan kewilayahan (spacial). Pelaksanaan perencanaan pada masing-masing tingkatan dan tahapan mensyaratkan adanya kepercayaan (trust) pada masing-masing pemilik otoritas perencanaan, dengan saling memberikan mandat pelaksanaan pembangunan pada skala (wide) masing-masing. Kepercayaan tersebut diuji oleh komitmen para penerima mandat yang hasilnya akan mempengaruhi motivasi masyarakat terlibat dalam proses pembangunan. Para perencana di tingkat desa mempercayakan pemiliki otoritas di tingkat distrik dan kabupaten untuk dapat menyelesaikan masalah dan memenuhi kebutuhan mereka melalui delegasi yang tersepakati dalam musrenbang masing-masing tingkatan dan keterwakilan politik daerah pemilihan masing-masing. Apatisme masyarakat terhadap proses perencanaan lebih diakibatkan oleh ketidak konsistenan (tidak amanah) para penerima mandat dan keterwakilan politik untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dan penyelesaian masalah yang hadapi masyarakat saat ini. Dengan demikian, sistem perencanaan memaknai Indonesia sebagai wilayah perencanaan secara holistik dan integral dalam satu kesatuan sistem perencaanaan.

Dengan terjadinya perubahan tingkatan dan jenis kebutuhan masyarakat dan penyelenggara pemerintahan (eksekutif dan legislatif) dalam memenuhi kebutuhan dan penyelesaian masalahnya, maka substansi perencanaan berada pada ketidakpastian dimensional (ruang dan waktu) karena perencanaan menghadapi keniscayaan perubahan dan harus mengakomodir perubahan itu sendiri. Untuk itu, dibutuhkan satu kesepakatan arah substansi perencanaan yang dituangkan dalam dokumen perencanaan yang mengakomodir dimensi ruang dan waktu. Untuk itu, harus disiapkan jenis perencanaan yang berbeda tingkataan (skala) nya dengan asumsi bahwa setiap wilayah pembangunan akan memiliki tingkatan kebutuhan yang berbeda akibat dari ketersediaan sumberdaya yang berbeda, dan waktu pelaksanaanya yang berbeda pula. Dengan demikian dibutuhkan dokumen perencanaan yang mengakomodir perbedaan skala perencanaan dan tingkatan waktu pencapaiannya. Dalam sistem perencanaan pembangunan ditetapkan tingkatan dokumen perencanaan berupa RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) untuk 20 tahun, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) untuk 5 tahun, dan RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah) sebagai rencana pembangunan tahunan  yang diterjemahkan dalam RENJA (Rencana Kerja) Tahunan sektoral oleh SKPD. Masing-masing dokumen perencanaan tersebut tersedia disetiap tingkatan kewilayahan pembangunan nasional, provinsi, kabupaten/kota.Substansi mandat pembangunan yang terkandung didalam masing-masing tingkatan dokumen perencanaan tersebut berbeda-beda dengan mempertimbangkan skala pelaksanaannya (model piramida terbalik sempurna). RPJP merupakan perencanaan jangka panjang 20 tahun yang berposisi sebagai rujukan perencanaan jangka menengah 5 tahunan disuatu kawasan perencanaan tertentu. Dengan demikian, RPJP merupakan dokumen publik milik warga wilayah (citizen own)  sebagai pemilik kedaulatan, yang merupakan mandat tertulis yang berisi visi 20 tahunan warga yang harus dilaksanakan oleh pemegang mandat (penyelenggara pemerintahan) dalam periode masing-masing. Dengan demikian, mandat tertulis tersebut berisi substansi yang dipastikan akan menjawab visi (bukan mimpi) warga dalam dua dekade kedepan untuk mendapatkan suatu kondisi dimasa depan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan yang berpijak dari permasalahan kekinian dalam rajutan budaya dan kearifan lokal yang terpertahankan. Dengan demikian, perencanaan jangka panjang harus mampu menjawab permasalahan substansial warga di masa depan sekaligus mengendalian kepentingan politik pemerintahan dengan visi pemimpin yang fluktuatif, inkonsisten dan penuh kepentingan (interest).
RPJP-PAPUA – melangkah diatas ketidakpastian
Dalam konteks Papua, pemerintah melimpahkan berbagai kewenangan dengan berbagai tambahan kewenangan khusus sebagai bentuk kompensasi politik atas penyelenggaraan pembangunan dan kondisi tidak biasa yang terjadi berkaitan dengan berbagai ketertinggalam pembangunan. Pelimpahan kewenangan lebih tersebut dibingkai dalam bentuk otonomi khusus yang disahkan melalui undang-undang yang mengamanatkan penyelenggaraan pemerintahan era otonomi khusus yang akan ditinjau kembali penyelenggaraanya setelah 25 tahun berjalan. Pelimpahan kewenangan ini harus dibarengi dengan penguatan kapasitas melalui pendampingan dan penyediaan sumber daya tambahan melalui dana otonomi khusus. Dana otonomi khusus disikapi sebagai stimululasi untuk percepatan  peningkatan kapasitas penyelenggara pemerintahan sehingga dapat melaksanakan berbagai kewenangan dalam penyelenggaraan pembangunan secara lebih cepat, jelas, sistematis dan terukur. Leadership (kualitas kepemimpinan) menjadi kata kunci sukses untuk dapat menyediakan berbagai pertanyaan dan jawaban secara demokratis kontekstual Papua dengan tanpa mendominasi definisi sehingga tetap akomodatif. Ketiadaan leadership akan membawa arus perjalanan bangsa menjadi tanpa arah dan haluan dan bisajadi justru terjebak dalam personifikasi leader sebagai haluan itu sendiri (planning is leader voice). Demokrasi kontekstual mengakomodir dokumen perencanaan dengan kekuatan kebijaksanaan pemimpin dalam penyelenggaraanya, dengan tetap berdiri sebagai pengayom dan pelayan. Perjalanan otonomi khusus 11 tahun yang lalu dilaksanakan oleh penyelenggara pemerintahan tanpa ada mandat substansi dari warga pemilik kedaulatan, karena terbukti hingga tahun 2012 tidak tersedia RPJP Papua. Jika kita sepakat dengan analisis diatas, maka RPJP di Papua telah tergantikan oleh personifikasi pemimpin yang telah menempatkan alam pikirannya sebagai “seakan-akan” mandat warga bangsa Papua. Dalam kondisi warga bangsa yang miskin pengetahuan dan kapasitas hak warga, maka yang dapat dilakukan hanya diam dan membiarkan semua terjadi sebagai pemberontakan dan perlawanan tertinggi dari kaum marjinal papah.
Belajar dari pengalaman di atas, maka jika kembali pada UU 25 Tahun 2004 ttg sistem perencanaan pembangunan nasional, maka pemerintah memberikan mandat penuh kepada kepala bappeda sebagai representasi lembaga perencana pembangunan ditingkat provinsi Papua untuk berinisiatif secara sadar dan cerdar menyiapkan ruang bagi stakeholder warga bangsa Papua (perwakilan adat, bijak ilmu, agawan etc) untuk menetapkan mandatnya dalam satu dokumen tertulis dan berdimensi waktu 20 tahun. Mandat tersebut akan membingkai kepentingan warga bangsa Papua dalam mengedalikan pencapaian citas-cita besar bersama yang difragmentasi dalam periodikal 5 tahunan perencanaan dalam tema-tema pembangunan. Visi sebagai mandat tersebut harus mencerminkan upaya bangkit dari ketertinggalan dimensional, sehingga harus fokus pada kekuatan internal, berdaya ungkit (dimensi sosio kultur), lompatan (revolutif), dan bermasadepan (prospektif). RPJP juga memberikan jaminan keterikatan  antar komponen pembangunan untuk menyatukan energi pada satu frekwensi dari berbagai massajenis anak bangsa dalam satu gelombang dhsyat kekuatan yang inspiratif. UU SPPN mengamanatkan penetapan RPJP dalam sebuah peraturan daerah. Dalam konteks UU Otsus, peraturan daerah dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan substansi dan rentang kendali dari peraturan tersebut. Perdasi adalah peraturan daerah provinsi yang bersifat normatif dalam penyelenggaraan urusan dasar pemerintahan dan ditetap oleh penyelenggara pemerintahan otonomi daerah yaitu gubernur dan DPRP. Perdasus adalah peraturan daerah khusus yang bersifat kontekstual dan ditetapkan oleh penyelenggara pemerintah era otonomi khsusus yaitu gubernur, DPRP dan MRP. 
Dengan menyadari ketersediaan kewenangan khusus dalam penyelenggaraan pemerintahan era otonomi khusus Papua maka struktur dokumen perencanaan harus ditetapkan secara khusus dalam bentuk Peraturan Daerah Khusus (PERDASUS). Dampak dari penetapan RPJP dalam Perdasus adalah MRP sebagai pemegang otoritas kultur bangsa Papua akan terlibat secara aktif dan konstruktif mengendalikan arah pelaksanaan mandat warga bangsa Papua dalam perencanaan jangka menengah (RPJMD) dan realisasi dalam RKPD. Dengan demikian, tidak hanya duduk dimenara gading penjaga kultur Papua, tetapi secara teknis mengontrol gubernur dan DPRP dalam menyelenggarakan pemerintahan untuk pelaksanaan pembangunan sesuai mandat koridor pembangunan dalam RPJP. Dalam setiap awal penyusunan RPJMD, MRP akan mengkaji adanya konsistensi benang merah pencapaian mandat visi bangsa Papua pada fragmentasi perencanaan periodik tertentu. Jika tidak tersedia atau tidak konsisten deminesinya, maka MRP dapat mengajukan class action atas in-konsistensi pemerintah menjalankan mandat UU 25/2004 dan UU 21/2001. Untuk membantu menjembatani antara koridor pembangunan dalam RPJP dengan RPJMD maka pemerintah dapat menyusun grand design pembangunan dalam tematik isu (sektoral/multy sector) untuk menterjemahkan RPJP dalam Peta Jalan (road mapp) pencapaian fragmentasi periodik secara konsisten dan lebih gamblang. Berbagai inovasi harus digali dan disepakati untuk memastikan terjadinya lompatan melalui penyediaan fokus pembangunan yang strategis dan menjamin peningkatan harkat dan martabat hidup warga bangsa Papua. Secara teknis, fokus pembangunan strategis di Papua yang membutuhkan pemenuhan dalam jangka panjang yang berdampak sistemik adalah pembangunan mega-energi terbaharukan, penyediaan  infrastruktur strategis, pertumbuhan sektor riil berbasis SDA dan kultur, fundamental ekonomi Papua yang kokoh dan bangsa Papua yang bermartabat, berkarakter unggul Papua. Untuk menjalankan peran ini, dibutuhkan kapasitas yang cukup bagi trisula penyelenggara pemerintahan era otsus (legislatif, eksekutif dan MRP).  Setiap taji trisula harus dengan sadar meningkatkan kepantasan (fit) sehingga patut (proper) sebagai penyelenggara pemerintahan era otonomi khusus. Jika salah satu taji trisula tumpul maka tidak akan dapat mencapai hasil yang maksimal. Disisi lain, warga (citizen) sebagai pemilik mandat sesungguhnya juga harus meningkatkan kepantasan kapasitas untuk terlibat dalam proses pengembangan kebijakan dan penyelenggara pemerintah. Dengan kondisi ini, semua berpulang kepada warga bangsa Papua untuk menyatukan tekat dan kemauan bangkit dari ketertinggalan dimensional dengan menanggalkan ego sempit kesukuan dan kelompok kepentingan.   

Selamat berjuang... PAPUA BANGKIT, MANDIRI DAN SEJAHTERA MENUJU PERADABAN PAPUA BARU.
Angkasapura, 14 Mei 2013

John J. Boekorsjom (Pemerhati Sosial)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar