"Honesty is the Best Policy Politics"

Rabu, 22 Mei 2013

Catatan Lepas “Otonomi Khusus Papua” Antara Ada & Tiada (I)

Rondinelli dan Cheema(1983:25) menjelaskan mengenai ruanglingkup lingkungan ini mencakup struktur politik, prosespembuatan kebijakan, struktur kekuasaan lokal, faktor budaya sosial, organisasipenerima manfaat program dan kecukupan infrastruktur fisik. Pada konsep ini Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Papua tentunya harusdidukung juga dengan kondisi lingkungan sebagaimana Rondinellidan Cheema (1983) dimana pada kontekstersebut kondisi lingkungan dalam pemberlakukan otonomi khusus sangatmempengaruhi suatu implementasi kebijakan.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan pada kebijakan otonomi khusus bagi Papua pada kenyataan terjadi penolakan masyarakat mengenai berbagai cakupan dari lingkungan kebijakan otonomi khusus. Kebijakan otonomi khusus tidak dipandang lagi sebagai kebijakan yang dapat memberikan struktur politik yang jelas, proses pembuatan kebijakan yang dipandang tidak komperhensif, kurang memberikan struktur kekuasaan lokal, kurang adanya penghargaan pada budaya lokal, kurang adanya pengorganisasian dalam pemanfaatan program kebijakan, serta kurang adanya akselerasi percepatan pembangunan infrastruktur di Papua.
Sebagaimana Rondinelli dan Cheema(1983:25), dimana hubungan interorganisasional merupakan faktor penting dalam suatu kebijakan desentralsiasi, adapun indikator pada faktor ini yaitu mencakup  kejelasan dan konsistensi tujuan program, sesuaia lokasi efektivitas fungsi prosedur perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan, kualitas antar-organisasi komunikasi dan efektivitas keterkaitan antara organisasi.
Pada keterkaitan dengan hasil otonomi khusus Papua dimana masih terdapat ketidakjelasan berbagai tujuan dari pemberlakukan kebijakan, ketidakjelasan tersebut muncul ketika belum adanya konsep ideal dalam pemberlakukan dan pencapaia tujuan dari pemberlakukan otonomi khusus Papua. Selain itu, masih ditemukanya inefektivitas mengenai fungsi prosedur pada perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan khususnya mengenai kurangnya sinergiritas antara MRP, DPRP dan Gubernur.Ketidaksinergiritas tersebut seringkali ditemukan pada konsep pembuatan kebijakan seperti pembahasan RAPBD dimana hal ini memberikan implikasi pada inefektivitas pada hubungan antara organisasi. Terjadinya ketidakefektifan pola hubungan antar organisasi pada kebijakan otonomi khusus tersebut menyebabkan semakin derasnya penolakan masyarakat mengenai model kebijakan otonomi khusus Papua,hal tersebut dapat diketahui melalui berbagai aksi demonstrasi masyarakat Papua dalam menolak otonomi khusus Papua.
Fenomena lain muncul ketika implementasi kebijakan otonomi khusus bukansaja memerlukan dukungan sinergiritas semata, melainkan juga pada dukungan sumber daya untuk pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua. Sebagaimana Rondinelli dan Cheema(1983) yang menjelaskan bahwa terdapat indikator dalam dukungan sumber daya untuk pelaksanaan kebijakan yang terdiri dari kontrol atas dana, kecukupan anggaran, ketersediaan sumber daya anggaran, dukungan dari para pemimpin politik nasional, dukungan dari para pemimpin politik lokal dan dukungan birokrasi nasional.
Pada konteks dukungan sumberdaya untuk pelaksanaan kebijakan otonomi khusus Papua, tidak dapat dipungkuri bahwa masih terdapat penolakan masyarakat mengenai model kebijakan khususnyaanggaran dalam menunjang berbagai program otonomi khusus. Penolakan tersebut berdasarkan pada tidak adanya kontrol atas anggaran, ketidakcukupan anggarandalam menunjang anggaran, ketidaktersediaan sumber daya anggaran yang hanya 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional. Hal-hal tersebut ditambah lagi dengan  tidak adanya dukungan birokrasi dan tidakadanya dukungan polikitik dari pusat yang lebih komperhensif serta nyata sehingga berimplikasi pada lemahnya dukungan politik pada level lokal di Provinsi Papua.
Pemberian dana otonomi khusus dan tambahan Infrastruktur Provinsi Papua pada realitasnya kurang dimanfaatkan dengan baik, sehingga kebijakan otonomi khususbagi Provinsi Papua tidak serta merta dapat memberikan efek postif bagi perkembangan dari upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Provinsi Papua sehingga penolakan masyaraka tterus meluntur. Adapun permasalahan yang mengemukan bahwa dalam pengelolaan dana otonomi khusus sering kali berbenturankepentingan dengan para implementor formal atau para agen pelaksana padastruktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi implementasi suatu kebijakan. Adapun hasil dari penggunaan anggaran tersebut pada kenyataanya tidak serta merta dapam meminimalisir penolakan masyarakat terhadap kebijakan otonomi khusus, melainkan masih melekatpada paradigma masyarakat pada pola anggaran yang tidak mencerminkan akuntabilitas keuangan.
Pada konsep karakteristik lembaga pelaksana sebagaimana Rondinelli dan Cheema (1983) dimana terdapat indiaktor dalam konsep ini yang terdiri dari; (1) teknis keterampilan, manajerial dan politik dari staf; (2) kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan keputusan; sumber daya politik agensi dan dukungan; efektivitas komunikasi internal; agen hubungandengan penerima program; hubungan dengan organisasi konstituen; kualitas kepemimpinan lembaga; komitmen staf untuk program lembaga dan lokasi lembaga dalam sistem administrasi.
Keterkaitan konsep karakteristik lembagapelaksana Rondinelli dan Cheema (1983) pada realitas implementasi kebijakan otonomi khususyaitu dimana tidak ditemukanya keterampilan teknis, manajerial dan dukungan politik yang baik pada implementor kebijakan. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak adanya kapasitas untuk mengkoordinasikan, mengendalikan dan mengintegrasikan suatu keputusan. Pada kenyataan sumber daya politik tidak memberikan ruang yang luas dalam meredam penolakan masyarakat dalam kebijakan otonomi khusus, dimana hal ini terjadi pada tidak adanya pola hubungan yang efektif dengan organisasi konsituen. Adapun kualitas lembaga pada kepemimpinan dan komitmen staf sejauh ini tidak mencerminkan sistem administrasi yang positif.
Kinerja dan dampak merupakan konsep dimana bagaimana kebijakan itu dapat dinilai, pada konseptersebut Rondinelli dan Cheema (1983) menjelaskan bahwa kinerja dan dampak tersebut terdiri dari; (1) Pencapaian tujuan kebijakan; (2) Mempengaruhi pada kapasitas administrasilokal dan kinerja; dan (3) Efek pada produktivitas, pendapatan, partisipasi,dan akses ke pelayanan pemerintah. Pada konsep ini, realitasnya kebijakan otonomi khusus  tidak memberikan kinerja dan dampak yang besar. Perlu diakui pula bahwa kenyataannya pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan alam Provinsi Papua belum digunakan secara optimal oleh pemerintah daerah dan masyarakat Provinsi Papua dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.Selain dari pada itu, pemberlakukan otonomi khusus pada Provinsi Papua jugakurang memberikan dampak pada Indeks Pembangunan Manusia yang hanya mencapai 64,53 cukup jauh dibadingkan dengan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia yang mencapai 71,76. Adapun nilai Indeks Pembangunan Manusia Indonesia dan Provinsi Papua dapat dilihat dari Gambar  :
Gambar 1 dapat diketahui bahwa perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada Provinsi Papua tentunya dapat dikatakan cukup jauh dengan nilai rata-rata Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia secara umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kontribusi pada pemberian kebijakan otonomi khusus bagi Provinsi Papua kurang memberikan dampak dan kinerja yang besar padahal pada sektor pengelolaan/pemanfaat kebijakan otonomi khusus Papua.
Fenomena mengenai kondisi lingkungan, hubungan interorganisasional dukungan sumber daya, karakteristik lembaga pelaksana, kinerja dan dampak sebagaimana Rondinelli dan Cheema (1983) tersebut tentunya bertolakbelakang dengan ekspestasi masyarakat Papua dalam memanfaatkan pemberian otonomi khusus Papua yang dibatasi selama 25 tahun. Ekspestasi tersebut kian tenggelam ketika model otonomi khusus Provinsi Papua belum memiliki cetak biru (blue print) atau disain besar (grand design) mengenai konsep otonomi asimetris yang akan dijalankan untuk jangka panjang. Perubahan yang terjadi pada umumnya dilakukan untuk jangka pendek dan sangat tergantung situasi politik pada saat undang-undang tentang otonomi daerah dibuat yang berimplikasi pada jalur yang seringkali menjadi tidak jelas dan membuat para penyelenggara pemerintahan daerah sulit menentukan prosedur yangjelas dalam implementasi kebijakan otonomi khusus.
Fenomena-fenomena permasalahan tersebut menunjukkan bahwa  perkembangannya penerapan otonomi asimetris (asyimmetricauthonomy) pada Provinsi Papua terkadang dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Permasalahan-permasalahan tersebut terutama terkait dengan ketidakpahaman Pemerintah Nasional (Pusat) dan kelompok minoritas (Pemerintah Provinsi Papua) tentang apa yang seharusnya menjadi isi/substansi dari kebijakan tersebut, sebagai upaya bersama untuk memecahkan berbagai masalah kesejahteraan yang mengemuka. Kondisi ini semakin memburuk, ketika muncul penolakan masyarakat Papua mengenai model kebijakan otonomi khusus Provinsi Papua. Penolakan tersebut tentunya memberikan efek besar terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Agung Djojosoekarto. dkk. (2010) yang berjudul Kinerja Otonomi Khusus Papua. Adapun hasil penelitian menjelaskan bahwa kinerja Otsus masih belum mencapai kinerja yang diharapkan. Special-Autonomy dari Papua masih banyak dipaham isebagai Special-Automoney. Kelemahan kinerja tersebut ditunjukkan dari pernyatan resmi yang disampaikan oleh pejabat Pemerintah Daerah pada berbagai kesempatan. Salah satu pernyataan resmi yang dinilai signifikan sebagai indikator rendahnya kinerja Otsus adalah pernyataan Gubernur Barnabas Suebu pada Sidang Paripurna perdana pembahasan RAPBD Papua.
Dyah Mutiarin (2010) dengan judul Pelaksanaan Desentralisasi Papua Di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pelaksanaan otonomi khusus di Papua dapat dilihat sebaga idesentralisasi yang asimetris karena kebijakan otonomi khusus tersebut masihsangat lemah dalam mencapai tujuan otonomi khusus terutama pada aspek kesehatan, mengurangi kemiskinan kronis, memberantas korupsi dan memecahkan masalah pelanggaran hak asasi manusia. Pemerintah Daerah Papua juga menghadapi kapasitas pemerintahan yang lemah yang disebabkan karena tidak adanya sensitivitas Pemerintah daerah Provinsi Papua untuk mengadopsi pendekatan pembangunan untuk mengatasi masalah pembangunan di Papua. Hal ini juga menerangkan mengapa Pemerintah Daerah Provinsi Papua masih lemah kapasitasnya dalam menjalankan otonomi daerah yang tercermin dalam kehidupan birokrasi sehari-hari. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar