http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/jubi-utama/5158-btc-jalan-pintas-bangun-ekonomi-perbatasan.html
Pasar SEHITO kalah bersaing dan hanya tinggal nama (JUBI/FOTO Ardiansyah)
JUBI— Secara sepintas melihat aktifitas perdagangan di tapal batas PNG dan Indonesia Provinsi Papua jarang terlihat aktivitas pedagang local Papua. Selebihnya pedagang non Papua, sebab banyak kebutuhan sembako dipasok oleh mereka.
“Perlu ada Border Trade Center (BTC) yang dibangun di Ibukota Distrik Muara Tami agar bisa menguntungkan semua pihak baik warga PNG, pedagang asli Papua, Pemerintah Kota Jayapura, Keerom dan juga Provinsi Papua serta aparat keamanan dan pemilik tanah adat,”ujar John Boekorsjom bekas Kasubdin Wilayah Perbatasan Bappeda Provinsi Papua kepada Jubi pekan lalu di Jayapura.
Lebih lanjut urai Boekorsjom mahasiswa program doctoral Universitas Pajajaran Bandung itu pusat perdagangan itu harus dibangun di Ibukota Distrik Muara Tami agar bisa berkembang dan memberikan ruang bagi masyarakat setempat.
“Coba tengok apa yang dilakukan Pemerintah Malaysia di Serawak, mereka bukan membangun BTC di perbatasan Entikiong tetapi masuk ke wilayah ibukota distrik terluar di perbatasan RI dan Malaysia. Mereka tahu Orang Indonesia suka berbelanja jadi ditariklah pusat perbelanjaan ke pusat distrik dan bukan sampai ke Kucing ibukota Serawak,”ujar Boekorsjom.
Menurut Boekorsjom pengalaman pemerintah Malaysia di Serawak untuk menarik warga Indonesia berbelanja bisa juga dilakukan di Distrik Muara Tami dan memberikan ruang agar warga PNG khususnya dari Provinsi Sandaun Vanimo bisa membelanjakan uang Kina mereka di wilayah Indonesia.
Jadi di dalam BTC lanjut Boekorsjom semua pihak bisa terlibat mulai dari masyarakat kecil penjual pinang sampai dengan mereka yang bermodal besar termasuk pihak aparat keamanan.“Pasalnya selama ini transaksi yang dilakukan di tapal batas jelas tidak memberikan sumbangsih yang berarti bagi pemerintah mulai dari retribusi dan pungutan-pungutan lainnya bagi pendapatan asli Kota Jayapura,”tutur Boekorsjom.
Selain di wilayah Distrik Muara Tami lanjut Boekorsjom sebaiknya pula dilakukan pembangunan BTC di Distrik Waris Kabupaten Keerom. “Masyarakat di wilayah perbatasan Waris juga bisa datang membeli dan menjual hasil bumi mereka di BTC Waris,”kata Boekorsjom.
Soalnya lanjut Boekorsjom dengan memakai pola BTC merupakan jalan pintas untuk memangkas aturan-aturan yang selama ini dianggap sulit dan merupakan wewenang antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).
Peluang aturan yang bisa digunakan mungkin adalah hubungan kekerabatan antara PNG dan warga Papua di Skouw, Waris dan Arso.”Ini bisa menjadi jembatan untuk mencairkan perbedaan warga negara yang selama ini dianut oleh kedua warga di sepanjang perbatasan RI dan PNG.,”ujar dia.
Pasar Sehito dibangun Pemerintah Kota Jayapura sekitar 2002. Pasar ini sebenarnya merupakan harapan dari masyarakat di Kampung Skouw Mabo, Skouw Sae dan Skouw Yame. Namun dalam pemanfaatan belum benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Belakangan justru Pasar Sehito tidak digunakan lagi, karena kalah bersaing dengan Pasar Kaget di Tapal Batas.
Pantauan Jubi di lapangan pekan lalu, Pasar Sehito tak digunakan lagi yang tampak hanya rumput dan semak belukar. Dulunya Pasar Sehito ini sangat ramai dikunjungi kalau hari pasar setiap Sabtu, tampak mama-mama asal Kampung Skouw Mabo, Skouw Yame dan Skouw Sae datang berjualan di situ. Kini semuanya tinggal kenangan.
Perdagangan di tapal batas RI dan PNG pertama kali dilakukan oleh Pemda Provinsi Papua dan Kadin Pronvinsi Papua pada 2004 dan 2005. Perdagangan di tapal batas itu bertajuk Crismast Border karena bertepatan dengan Hari Natal. Aktivitas ini dimaksudkan oleh para penggasnya untuk memotifasi lahirnya pasar kaget yang mengakomodir 106 (seratus enam) pedagang.
Padahal kalau disimak sebenarnya lokasi pasar ini bertentangan dengan Perda No. 16/1995 tentang RTRW Kota Jayapura, bahwa 5 km dari tapal batas adalah zona netral (buffer zone).
Kehadiran Pasar Kaget ini banyak mengundang protes terutama dari masyarakat lokal di daerah perbatasan yang merasa tidak memperoleh manfaat apapun.
Ondoafi Kampung Skouw Jans Mallo kepada Jubi pekan lalu menambahkan kehadiran pasar kaget di perbatasan jelas merugikan masyarakat di kampungnya.“Mama-mama kalau mau jualan di sana sangat mahal ongkos transportasi dan juga mereka tidak mungkin menjual sembako karena memerlukan modal besar,”ujar Jans Mallo mengeluh.
Bukan hanya soal pasar saja yang dikeluhkan Mallo, lampu penerangan listrik belum masuk ke Kampung Skouw Mabo yang letaknya tidak jauh dari Kantor Distrik Muara Tami.“ Peneragangan hanya stop sampai di Koya Barat dan Koya Timur saja,”ujar Mallo.
Agus Mallo, salah satu tokoh mantan Kepala Kampung Skouw Mabo menambahkan, sebagai salah satu distrik dari Kota Jayapura, seharusnya Muara Tami memiliki fasilitas pelayanan publik yang maju.
“Tetapi, sampai sekarang penerangan hanya sampai di Koya Timur, daerah lainnya hidup di kegelapan,” ujarnya.
Distrik Muara Tami yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota itu seperti dianaktirikan.Wilayah yang sangat dekat dengan perbatasan RI-PNG ini seharusnya menjadi fokus pembangunan pemerintah Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kota Jayapura sehingga masyarakat merasa nyaman sebagai penduduk wilayah Indonesia.
Jans Mallo yang juga Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Muara Tami menambahkan seharusnya pemerintah harus membangun pasar kaget di dekat Distrik Muara Tami agar masyarakat bisa lebih dekat menjual hasil bumi mereka.
Mallo juga mengakui areal lahan di sebelah Kali Tami merupakan hak adat dari masyarakat Wutung dan pemiliki tanah adalah paitua Sostenes warga Kampung Wutung. “Walau daerah itu secara administrasi masuk ke wilayah NKRI tetapi dalam hak ulayat tanah menjadi miliki mereka yang tinggal di Kampung Wutung,”ujar Mallo.
Pendapat senada juga dikatakan Simon Munauli warga Kampung Wutung yang punya hubungan saudara dengan warga Kampung Skouw Mabo dan Skouw Yame.“Saya punya saudara di Kampung Sokuw bermarga Reto,”tegas Simon Munauli. Lebih lanjut jelas Simon biasanya kalau ada pembayaran mas kawin atau pesta adat lainnya warga Wutung akan berkunjung ke saudara mereka di Kampung Skouw.
Pantauan Jubi di lapangan, lebih banyak warga PNG yang melintasi perbatasan menuju wilayah Indonesia jika dibandingkan dengan warga dari Provinsi Papua ke negara tetangga PNG. Warga PNG umumnya lebih banyak membelanjakan uang Kina untuk membeli kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula dan juga barang elektronik dan bahan sandang.
Jimmy Wanayu warga Vanimo asal Kampung Yilui atau Yilui Village bersama istri dan seorang anaknya datang ke pasar tapal batas untuk membeli dua karung beras 10 kg dan peralatan rumah tangga lainnya. “Beras di sini harganya jauh lebih murah. Kalau belanja di Vanimo ibukota Provinsi Sandaun PNG. 10 Kg beras harganya 36,75 Kina sedangkan di pasar kaget tapal batas hanya 22,60 Kina,”ujar Jimmy yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan di Vanimo. Dia menambahkan kalau berasnya sudah habis akan kembali lagi untuk membeli. “Kita biasa makan nasi selama dua minggu atau tiga m inggu kalau sudah habis kembali lagi untuk membeli 20 kilogram beras,”ujar Jimmy.
Bukan hanya membelanjakan uang Kina ke pedagang Indonesia di tapal batas saja yang biasa dilakukan warga PNG. Ada beberapa warga PNG dari Kampung Wutung yang letaknya tidak jauh dari tapal batas sering berjualan di lokasi tapal batas. Warga PNG hanya menjual baju kaos, topi, dan minuman ringan serta makanan ringan. Tak ketinggalan mama-mama PNG juga menjual pinang dan harganya sekitar 2 Kina (Rp 6000,-). “ Mama mi laik kai-kai buay,”tanya Jubi kepada mama penjual pinang asal PNG. “Ok plis you kai-kai, oke yu pai, only 2 Kina,”jawabnya.
Aktifitas perdagangan warga PNG bukan hanya di Distrik Muara Tami saja tetapi juga di Distrik Waris Kabupaten Keerom. Warga PNG di Kampung Imonda,Wasanglah dan Amanap juga sering melintasi batas negara ke Distrik Waris untuk menjual buah cokelat dan juga membeli bahan-bahan makanan seperti beras dan gula. Bahkan menurut Post Courier yang dikutip Jubi menyebutkan sebagian besar kaum warga di daerah pemilihan Vanimo-Green yaitu Kampung Green River, Kampung Amanab, Kampung Imonda dan Kampung Bewani jarang berkunjung atau belum pernah melihat kota Vanimo ibukota Provinsi Sandaun Papua New Guinea (PNG). Pasalnya transportasi jalan darat ke ibukota Provinsi Sandaun belum rampung sehingga mereka lebih mudah berkunjung ke Jayapura. (JUBI/DAM,Ronald/dari berbagai sumber)
Lebih lanjut urai Boekorsjom mahasiswa program doctoral Universitas Pajajaran Bandung itu pusat perdagangan itu harus dibangun di Ibukota Distrik Muara Tami agar bisa berkembang dan memberikan ruang bagi masyarakat setempat.
“Coba tengok apa yang dilakukan Pemerintah Malaysia di Serawak, mereka bukan membangun BTC di perbatasan Entikiong tetapi masuk ke wilayah ibukota distrik terluar di perbatasan RI dan Malaysia. Mereka tahu Orang Indonesia suka berbelanja jadi ditariklah pusat perbelanjaan ke pusat distrik dan bukan sampai ke Kucing ibukota Serawak,”ujar Boekorsjom.
Menurut Boekorsjom pengalaman pemerintah Malaysia di Serawak untuk menarik warga Indonesia berbelanja bisa juga dilakukan di Distrik Muara Tami dan memberikan ruang agar warga PNG khususnya dari Provinsi Sandaun Vanimo bisa membelanjakan uang Kina mereka di wilayah Indonesia.
Jadi di dalam BTC lanjut Boekorsjom semua pihak bisa terlibat mulai dari masyarakat kecil penjual pinang sampai dengan mereka yang bermodal besar termasuk pihak aparat keamanan.“Pasalnya selama ini transaksi yang dilakukan di tapal batas jelas tidak memberikan sumbangsih yang berarti bagi pemerintah mulai dari retribusi dan pungutan-pungutan lainnya bagi pendapatan asli Kota Jayapura,”tutur Boekorsjom.
Selain di wilayah Distrik Muara Tami lanjut Boekorsjom sebaiknya pula dilakukan pembangunan BTC di Distrik Waris Kabupaten Keerom. “Masyarakat di wilayah perbatasan Waris juga bisa datang membeli dan menjual hasil bumi mereka di BTC Waris,”kata Boekorsjom.
Soalnya lanjut Boekorsjom dengan memakai pola BTC merupakan jalan pintas untuk memangkas aturan-aturan yang selama ini dianggap sulit dan merupakan wewenang antara pemerintah Indonesia dan Papua New Guinea (PNG).
Peluang aturan yang bisa digunakan mungkin adalah hubungan kekerabatan antara PNG dan warga Papua di Skouw, Waris dan Arso.”Ini bisa menjadi jembatan untuk mencairkan perbedaan warga negara yang selama ini dianut oleh kedua warga di sepanjang perbatasan RI dan PNG.,”ujar dia.
Pasar Sehito dibangun Pemerintah Kota Jayapura sekitar 2002. Pasar ini sebenarnya merupakan harapan dari masyarakat di Kampung Skouw Mabo, Skouw Sae dan Skouw Yame. Namun dalam pemanfaatan belum benar-benar berfungsi sebagaimana mestinya. Belakangan justru Pasar Sehito tidak digunakan lagi, karena kalah bersaing dengan Pasar Kaget di Tapal Batas.
Pantauan Jubi di lapangan pekan lalu, Pasar Sehito tak digunakan lagi yang tampak hanya rumput dan semak belukar. Dulunya Pasar Sehito ini sangat ramai dikunjungi kalau hari pasar setiap Sabtu, tampak mama-mama asal Kampung Skouw Mabo, Skouw Yame dan Skouw Sae datang berjualan di situ. Kini semuanya tinggal kenangan.
Perdagangan di tapal batas RI dan PNG pertama kali dilakukan oleh Pemda Provinsi Papua dan Kadin Pronvinsi Papua pada 2004 dan 2005. Perdagangan di tapal batas itu bertajuk Crismast Border karena bertepatan dengan Hari Natal. Aktivitas ini dimaksudkan oleh para penggasnya untuk memotifasi lahirnya pasar kaget yang mengakomodir 106 (seratus enam) pedagang.
Padahal kalau disimak sebenarnya lokasi pasar ini bertentangan dengan Perda No. 16/1995 tentang RTRW Kota Jayapura, bahwa 5 km dari tapal batas adalah zona netral (buffer zone).
Kehadiran Pasar Kaget ini banyak mengundang protes terutama dari masyarakat lokal di daerah perbatasan yang merasa tidak memperoleh manfaat apapun.
Ondoafi Kampung Skouw Jans Mallo kepada Jubi pekan lalu menambahkan kehadiran pasar kaget di perbatasan jelas merugikan masyarakat di kampungnya.“Mama-mama kalau mau jualan di sana sangat mahal ongkos transportasi dan juga mereka tidak mungkin menjual sembako karena memerlukan modal besar,”ujar Jans Mallo mengeluh.
Bukan hanya soal pasar saja yang dikeluhkan Mallo, lampu penerangan listrik belum masuk ke Kampung Skouw Mabo yang letaknya tidak jauh dari Kantor Distrik Muara Tami.“ Peneragangan hanya stop sampai di Koya Barat dan Koya Timur saja,”ujar Mallo.
Agus Mallo, salah satu tokoh mantan Kepala Kampung Skouw Mabo menambahkan, sebagai salah satu distrik dari Kota Jayapura, seharusnya Muara Tami memiliki fasilitas pelayanan publik yang maju.
“Tetapi, sampai sekarang penerangan hanya sampai di Koya Timur, daerah lainnya hidup di kegelapan,” ujarnya.
Distrik Muara Tami yang berjarak sekitar 30 kilometer dari kota itu seperti dianaktirikan.Wilayah yang sangat dekat dengan perbatasan RI-PNG ini seharusnya menjadi fokus pembangunan pemerintah Provinsi Papua dan juga Pemerintah Kota Jayapura sehingga masyarakat merasa nyaman sebagai penduduk wilayah Indonesia.
Jans Mallo yang juga Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Muara Tami menambahkan seharusnya pemerintah harus membangun pasar kaget di dekat Distrik Muara Tami agar masyarakat bisa lebih dekat menjual hasil bumi mereka.
Mallo juga mengakui areal lahan di sebelah Kali Tami merupakan hak adat dari masyarakat Wutung dan pemiliki tanah adalah paitua Sostenes warga Kampung Wutung. “Walau daerah itu secara administrasi masuk ke wilayah NKRI tetapi dalam hak ulayat tanah menjadi miliki mereka yang tinggal di Kampung Wutung,”ujar Mallo.
Pendapat senada juga dikatakan Simon Munauli warga Kampung Wutung yang punya hubungan saudara dengan warga Kampung Skouw Mabo dan Skouw Yame.“Saya punya saudara di Kampung Sokuw bermarga Reto,”tegas Simon Munauli. Lebih lanjut jelas Simon biasanya kalau ada pembayaran mas kawin atau pesta adat lainnya warga Wutung akan berkunjung ke saudara mereka di Kampung Skouw.
Pantauan Jubi di lapangan, lebih banyak warga PNG yang melintasi perbatasan menuju wilayah Indonesia jika dibandingkan dengan warga dari Provinsi Papua ke negara tetangga PNG. Warga PNG umumnya lebih banyak membelanjakan uang Kina untuk membeli kebutuhan bahan pokok seperti beras, gula dan juga barang elektronik dan bahan sandang.
Jimmy Wanayu warga Vanimo asal Kampung Yilui atau Yilui Village bersama istri dan seorang anaknya datang ke pasar tapal batas untuk membeli dua karung beras 10 kg dan peralatan rumah tangga lainnya. “Beras di sini harganya jauh lebih murah. Kalau belanja di Vanimo ibukota Provinsi Sandaun PNG. 10 Kg beras harganya 36,75 Kina sedangkan di pasar kaget tapal batas hanya 22,60 Kina,”ujar Jimmy yang sehari-hari bekerja sebagai tukang bangunan di Vanimo. Dia menambahkan kalau berasnya sudah habis akan kembali lagi untuk membeli. “Kita biasa makan nasi selama dua minggu atau tiga m inggu kalau sudah habis kembali lagi untuk membeli 20 kilogram beras,”ujar Jimmy.
Bukan hanya membelanjakan uang Kina ke pedagang Indonesia di tapal batas saja yang biasa dilakukan warga PNG. Ada beberapa warga PNG dari Kampung Wutung yang letaknya tidak jauh dari tapal batas sering berjualan di lokasi tapal batas. Warga PNG hanya menjual baju kaos, topi, dan minuman ringan serta makanan ringan. Tak ketinggalan mama-mama PNG juga menjual pinang dan harganya sekitar 2 Kina (Rp 6000,-). “ Mama mi laik kai-kai buay,”tanya Jubi kepada mama penjual pinang asal PNG. “Ok plis you kai-kai, oke yu pai, only 2 Kina,”jawabnya.
Aktifitas perdagangan warga PNG bukan hanya di Distrik Muara Tami saja tetapi juga di Distrik Waris Kabupaten Keerom. Warga PNG di Kampung Imonda,Wasanglah dan Amanap juga sering melintasi batas negara ke Distrik Waris untuk menjual buah cokelat dan juga membeli bahan-bahan makanan seperti beras dan gula. Bahkan menurut Post Courier yang dikutip Jubi menyebutkan sebagian besar kaum warga di daerah pemilihan Vanimo-Green yaitu Kampung Green River, Kampung Amanab, Kampung Imonda dan Kampung Bewani jarang berkunjung atau belum pernah melihat kota Vanimo ibukota Provinsi Sandaun Papua New Guinea (PNG). Pasalnya transportasi jalan darat ke ibukota Provinsi Sandaun belum rampung sehingga mereka lebih mudah berkunjung ke Jayapura. (JUBI/DAM,Ronald/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar