"Honesty is the Best Policy Politics"

Sabtu, 06 Agustus 2011

OTONOMI KHUSUS ANTARA HARAPAN DAN REALITA

Lagi bersihkan gudang ketemu tulisan yg saya buat pada medio pebruari 2002 untuk harian CEPOS, hanya sharring saja mudah-mudahan ada manfaatnya.
Harian CEPOS, 22 Pebruari 2002OTONOMI KHUSUS ANTARA HARAPAN DAN REALITA     Oleh : JJ Boekorsjom

      Lihatlah TATAPANKU dan MAKNAILAH....

Medio Januari 2002 diberlakukanlah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (OTSUS) bagi Provinsi Papua –menjadi popular dan perdebatan- Otsus yang diberikan oleh Pemerintah Pusat bukanlah hadiah semata namun lahir dari suatu proses yang menelan korban nyawa, air mata dan martabat orang Papua serta aspirasi “merdeka” orang Papua, sehingga patut disadari oleh semua pihak bahwa OTSUS adalah sarana untuk kesejahteraan sejati bagi masyarakat Papua dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Otonomi Daerah (OTDA) merupakan hal yang melekat pada system pemerintahan di Indonesia, karena cita-cita akan adanya daerah otonomi telah tertulis sebagai amanat dari Foundding Fathers bangsa ini melalui konstitusi UUD 1945. Sayang keinginan tersebut –terutama- pada masa orde baru (ORBA) belum dapat terlaksana dengan baik, bahkan timbul berbagai persoalan yang diakibatkan oleh system sentralistik yang dikembangkan oleh pemerintah pusat. Keberadaan daerah, menjadi sangat tergantung kepada “Restu” dan keinginan pusat (Jakarta). Sehingga kebebasan dan inisiatif daerah seperti yang terdapat di dalam kebijakan OTDA menjadi hal yang utopis, karena besarnya intervensi pusat kepada daerah. Hal ini, kemudian menjadi agenda reformasi nasional pasca jatuhnya kekuasaan resim Soeharto, mei 1998 lalu.Masyarakat Papua telah merasakan berbagai UU yang mengatur tentang otonomi daerah selama 33 tahun di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala janji dan harapan yang setiap saat terjadfi pasang surut, berbagai produk UU otonomi daerah tersebut antara lain UU Nomor 12/1969 tentang Pembentukkan Otonomi Irian Barat dengan Kabupaten-Kabupatennya kemudian resim ORBA melalui UU No. 5/1974 tentang Pokok Pokok Pemerintahan di Daerah, kehadiran UU itu juga menandai pergeseran konsep dari otonomi seluas-luasnya kearah jargon otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggungjawab. Sebagai dampaknya, salah satu bagian UU itu menyebutkan bahwa, otonomi lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka control pusat terhadap daerah kian kuatnya. Proses desentralisasi menjadi kebuntuan dan mulai menimbulkan keraguan terhadap janji pemerintah, masyarakat daerah mulai mempertanyakan komitmen pusat untuk melakukan desentralisasi tersebut. Banyak kritik dari masyarakat, yang menyebabkan pemerintah ORBA kembali merancang prakarsa untuk percepatan otonomi maka keluarlah Proyek Percontohan OTDA yang dibakukan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/1995 tentang Penyerahan sebagian Urusan Pemerintah kepada 26 Daerah Tingkat II di Indonesia (termasuk salah satunya Kabupaten DATI II Sorong) untuk dijadikan Pilot Project. Namun prakarsa Bottom Up tersebut pada level pelaksanaan juga tidak mampu memenuhi harapan masyarakat daerah, karena adanya berbagai factor kepentingan, yakni terjadinya tarik ulur kekuasaan antara pusat dan daerah serta provinsi dan kabupaten. Dengan lengsernya resim Soeharto pada masa pemerintahan transisi Habibie akhirnya mengeluarkan UU Nomor 22/1999 tentan Pemerintahan Daerah guna memenuhi harapan masyarakat daerah yang menghendaki adanya demokratisasi.Masyarakiat Papua melihat dan merasakan bagaimana sepak terjang pelaksanaan OTDA ini, sehingga jangan disalahkan bila ada sebagian masyarakat Papua meragukan Otonomi Khusus yang diberikan kepada Provinsi Papua ini –Apakah akan seperti yang lalu terjadi tarik ulur kepentingan ?-.Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua bukanlah hadiah semata melainkan suatu solusi untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga para elite Politik dan Pemerintah di daerah ini harus pahami bahwa sikap keraguan atas Otonomi Khusus bukan hanya didorong oleh keinginan masyarakat “Merdeka” tapi masyarakat Papua mendasari keraguan karena juga oleh “Tarik Ulur” pemerintah pusat dan daerah atas otonomi itu sendiri pada masa lalu.Hakekat Otonomi Khusus bukan hanya identik saja dengan tentang “uang” –yang beberapa waktu lalu oleh media massa menggembargemborkan UANG yang akan diterima saat OTSUS dilaksanakan-, meskipun resources, baik berbentuk sumber daya alam dan keuangan penting bagi jalannya otonomi khusus tetapi makna otonomi khusus adalah tetap adanya kewenangan khusus, independence, distribution of power yang kesemuanya diarahkan kepada kemandirian daerah yang bernuansa cirri khas Papua. Kekuangan atau pendapatan daerah merupakan sarana, alat atau modal yang digali, dikembangkan dan digunakan untuk mencapai kemandirian. Janganlah kita menciptakan opini “OTSUS=UANG” di masyarakat yang akan menjadi boomerang pada suatu saat bahwa OTSUS berarti Uang sehingga masyarakat akan tuntut bahwa mereka harus rasakan fisiknya uang tersebut (langsung diterima/dipegang ditangannya). Jangan kita jadikan warna OTONOMI KHUSUS JATUH DALAM KADAR UKURAN UANG.Janganlah kita sampai jatuh didalam pertentangan dikotomis yang mengatakan “Apa gunanya uang kalau tidak memiliki kewenangan atau sebaliknya apa untungnya memeliki kewenangan kalau tidak memiliki atau berkuasa atas uang atau keuangan daerah”. Tetapi dengan adanya Otonomi Khusus mampu menopang Provinsi Papua untuk mewujudkan Kesejahteraan yang sejati bagi masyarakat asli Papua. Pertanyaannya sekarang adalah “ Apakah dengan OTSUS akan memberikan jaminan bahwa masyarakat Asli Papua akan mengalami Kesejahteraan yang sejati ?”.Untuk itu persiapan SDM yang professional merupakan tuntutan dan sekaligus tantangan dalam rangka melaksanakan UU Nomor 21/2001. Apalagi dengan kewenangan pemerintah daerah yang begitu luas kepada daerah, termasuk DPRD-nya (DPRP), maka berlangsung atau tidak program program pembangunan kesejahteraan bagi masyarakat Papua khususnya Orang Asli Papua, sangat tergantung kepada aparat aparat Eksekutif dan Legislatif. Mereka harus mempunyai kemampuan manajerial dan leadership. Bahkan lebih dituntut memiliki kemampuan professional, manajerial, maupun kepemimpinan dengan sikap mental dan moral mereka juga harus andal. Paling tidak, mereka memiliki nilai moral yang unggul dan prilakunya tidak cacat dimata masyarakat. Ini memang penting, sebab berawal dari segi moral bisa menjadi sumber berbagai tindakan yang tidak terpuji.Antara pesimis dan optimis tentang pelaksanaan OTSUS Papua sebagai pelaksanaan wujud kesejahteraan yang sejati bagi Masyarakat Papua lebih Khusus Masyarakat Asli Papua. Janganlah para elite di daerah ini memakai pertentangan pro dan kontra OTSUS serta OTSUS =UANG untuk meng-dikotomi nasyarakat Papua tetapi harus disadari bahwa dari pengalaman masyarakat masyarakat itu sendiri diwaktu lalu tentang otonomi daerah maka membuat pro dan kontra terhadap otsus. Tetapi Para Elite di daerah ini harus mampu merangkul kedua kelompok ini demi pelaksanaan OTSUS tersebut karena yang pro dan kontra semuanya adalah masyarakat Papua yang Punya Negeri ini.-OTSUS bukanlah sekedar UANG tetapi OTSUS adalah Kewenangan, Independence, Distribution of Power yang kesemuanya itu diusahakan kepada Kemandirian Daerah berdasarkan cirri Khas Papua demi terwujudnya kesejahteraan sejati bagi Masyarakat Asli Papua, serta membutuhkan Leadership dan Manajerial yang professional dengan moral dan prilaku yang andal. Semoga OTSUS tidak hanya harapan-harapan semata namun dapat menjadi realita bagi masyarakat Asli Papua –semoga-Port Numbay, 2 Pebruari 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar