"Honesty is the Best Policy Politics"

Sabtu, 06 Agustus 2011

MRP, Honai Orang Papua Yang Direcoki


JUBI, Sunday, 04 October 2009 13:43


Sesuatu yang khusus dalam UU Otsus Papua adalah kehadiran Majelis Rakyat Papua. Sayangnya, MRP sebagai Honai orang Papua masih saja direcoki. Benarkah?



 
“Kalau tidak ada regulasi dan reformasi struktur, sulit untuk mengharapkan MRP ke depan,” pungkas John Boekorsjom, mahasiswa Program Doctoral Universitas Pajajaran Bandung kepada Jubi belum lama ini.

Menurutnya, problem yang harus diantisipasi saat ini adalah upaya untuk membentuk Majelis Rakyat Papua (MRP) pada wilayah-wilayah pemekaran. Baginya, ini sangat bertentangan dengan UU Otsus. Sebab jiwa dari UU Otsus Papua adalah kesatuan etnik. Karena itu, kata dia, anggota MRP Periode ini jangan lagi berpikir untuk terpilih kembali tetapi yang lebih penting adalah bagaimana meletakan dasar kelanjutan UU Otsus yaitu cukup satu MRP di Tanah Papua.

Dia menilai, selama ini MRP hanya direcoki dengan merespon bola panas atau bola blunder Jakarta tanpa melakukan konsolidasi dengan akar rumput. Padahal kekuatan sebenarnya MRP adalah melakukan konsolidasi dengan akar rumput untuk bisa bernegosiasi dengan Jakarta. Dengan begitu Jakarta akan memperhitungkan eksistensi MRP.

Sebenarnya konsolidasi dengan masyarakat akar rumput di seluruh Tanah Papua bisa menjadi kekuatan penting untuk bernegosiasi. Namun yang jadi soal adalah ketika Pemerintah Jakarta merasa takut jika lembaga bernama MRP ini terlalu kuat atau superbody. “Sehingga memang perlu diatur rambu-rambu agar berjalannya sesuai keinginan pihak-pihak tertentu. Posisi inilah yang harus diperjuangkan oleh anggota MRP sekarang dan ke depan,” ujarnya. Minimal, kata dia, Anggota MRP periode sekarang harus mampu meletakan dasar-dasar regulasi agar rekruitmen dan proses kerja sama dengan akar rumput tetap terus dibangun. Tujuannya agar advokasinya berjalan sesuai dengan keinginan Masyarakat Asli Papua. “Hal ini bukan berarti menjadikan MRP sebagai sebuah lembaga ekslusif tetapi sebuah Honai (baca; rumah orang Papua)”.

“MRP adalah kitorang pu Honai,” kata Dr. Neles Tebay, Direktur Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur (STFT) Papua. Itulah sebabnya bagi Tebay, pihaknya sangat menghendaki agar lembaga MRP perlu berperan sebagai Honai nya orang Papua tanpa membedakan suku, agama, daerah, dan gender. “Tiap orang Papua mesti merasakan kehadiran MRP sebagai honai miliknya,” tegas Tebay yang juga mantan wartawan The Jakarta Post itu.

Sejalan dengan Tebay, Anggota MRP, Erna Mahuse berpendapat, masyarakat memang perlu mendorong agar pemilihan Anggota MRP periode mendatang lebih berbobot. Dia juga mengatakan, ada beberapa pasal dalam pembentukan MRP yang perlu direvisi kembali tetapi sangat sulit untuk dilakukan. “Untuk melakukan perubahan kebijakan tersebut memang menemui beberapa kendala,” kata Mahuse, bekas Guru SMA Negeri I Sentani Kabupaten Jayapura.

Erna menambahkan, pada 2010, masyarakat akan memilih anggota MRP periode 2010-2015. Sesuai dengan UU Otsus pasal 19 ayat (1), MRP beranggotakan Orang Asli Papua terdiri atas wakil adat, wakil agama dan wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan, masa keanggotaan MRP adalah lima tahun.

Pencantuman MRP ini sejalan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No:54/2004 tentang MRP. MRP dalam peraturan ini merupakan representasi cultural orang asli Papua yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka perlindungan hak-hak Orang Asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan dan pemantapan kerukunan hidup beragama.

Selanjutnya dalam PP No.54 Pasal 4 tentang persyaratan anggota MRP antara lain harus orang asli Papua, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Setia dan Taat kepada Pancasila dan memiliki komitmen yang kuat untuk mengamalkannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Setia dan taat kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia serta pemerintah yang sah. Juga tidak pernah terlibat dalam tindakan makar terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Apa Yang Sudah Dikerjakan?

Wakil Ketua MRP, Frans A Wospakrik mengatakan, MRP kini dihadapkan pada kontroversi dan dilema dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dia berpendapat, seharusnya MRP tetap bertumpu pada amanat Undang-Undang Otsus dan semangat keberpihakan untuk memproteksi serta memberdayakan Orang Asli Papua di atas tanahnya. Dengan demikian, lanjut Wospakrik, Masyarakat Asli Papua dapat menikmati hak-haknya sebagaimana diamanatkan di dalam konstitusi negara ini.

Lebih lanjut urai Wospakrik, beberapa produk kerja MRP periode 2005-2010 yang sebenarnya belum optimal antara lain, pertama, rekomendasi MRP tentang keberpihakan dalam rekruitmen tenaga kerja di Papua terutama di lingkungan institusi pemerintah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Kedua, keputusan MRP dalam rangka implementasi Pasal 20 Ayat 1 yaitu tentang hak dan kewenangan memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diusulkan oleh DPRP. Ketiga, mendorong pihak eksekutif dan legislatif untuk membuat Perdasus tentang Penggunaan Dana Otonom Khusus. Keempat, pandangan dan rekomendasi MRP mengenai keberpihakan kepada orang asli Papua dalam rekruitmen politik terutama dalam jabatan-jabatan politik (Bupati dan Wakil Bupati). Kelima, rekomendasi tentang rekuritmen calon Tamtama dan Bintara Polisi di lingkungan Polda Papua. Keenam, pertimbangan dan persetujuan terhadap sejumlah Raperdasus diantaranya; Perekonomian berbasis kerakyatan; Perlindungan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Hukum Adat Papua; Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua; Pembangunan Hutan Yang Berkelanjutan di Papua; Pelaksanaan Tugas dan Kewenangan Anggota dan Pimpinan MRP; Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Pimpinan dan Anggota MRP. Ketujuh, keputusan Kultural MRP tentang Kebijakan dan Penyelenggaraan Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua dan Kesatuan Kultural Orang Asli Papua. Dan kedelapan, keputusan MRP tentang Rekomendasi tentang; Kewajiban dan Penyelenggaraan Hak-Hak Dasar Orang Asli Papua; Rekomendasi tentang Kebijakan dan Pembinaan Kesatuan Kultural Orang Asli Papua. “Semuanya ini memang belum optimal,” ujar Wospakrik

Menurutnya, MRP adalah lembaga resmi di dalam sistem pemerintahan di dalam Negara Republik Indonesia. MRP akan tetap eksis sepanjang pemberlakuan Undang-Undang tentang Otsus Papua. “Sepanjang UU Otsus masih berlaku di dalam NKRI. maka kehadiran MRP serta tugas dan wewenangnya dijamin,” ujar Wospakrik.

Hanya saja, kata dia, tugas ke depan adalah bagaimana MRP bisa bekerja dengan sungguh-sungguh. Bagaimana juga MRP dapat menjalankan amanat undang-undang secara lebih efektif dalam memperjuangkan keberpihakan orang asli Papua.

MRP sendiri adalah sebuah lembaga di Provinsi Papua, yang beranggotakan penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. Dalam materi UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, Bab V, Bentuk dan Susunan Pemerintahan, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah Daerah (gubernur beserta perangkatnya) dan MRP. DPRP berkedudukan sebagai badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai eksekutif, dan MRP sebagai lembaga representatif kultural Orang Asli Papua. Sebagai lembaga legislatif, DPRP berwenang dalam melaksanakan fungsi egislatif, yang mencakup (1) legislasi; (2) budgeting (anggaran); (3) pengawasan. Pemerintah provinsi sebagai eksekutif berwenang dalam melaksanakan fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat serta melaksanakan program pembangunan.

Tugas dan wewenang MRP antara lain adalah memberi pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRD kabupaten/kota dan bupati/walikota mengenai hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak orang asli Papua. (JUBI/Dominggus Mampioper/Dari Berbagai Sumber).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar