"Honesty is the Best Policy Politics"

Sabtu, 06 Agustus 2011

GELIAT MRP DALAM OTONOMI KHUSUS PAPUA (REFLEKSI SEBELUM GAGAL)

GELIAT MRP DALAM OTONOMI KHUSUS PAPUA (REFLEKSI SEBELUM GAGAL) oleh John Julius Boekorsjom pada 17 Juni 2010 jam 0:30


Pemberian status otonomi khusus (desentralisasi asimetris) bagi Aceh dan Papua tentu tidak didasarkan pada landasan juridis, tetapi lebih pada relevansi empirik, adanya suatu realitas politik. Pergolakan dan pemberontakan di Aceh dan di Papua dapat mengancam integritas bangsa. Otonomi khusus adalah jalan tengah untuk merekatkan kembali kesatuan nasional dan merajut kembali integrasi bangsa. Seraca historis, daerah-daerah yang diberi status khusus pada masa lalu, selain memperoleh pengakuan atas kewenangan-kewenangan tertentu, juga diberi keleluasaan untuk mengadopsi karakteristik lokal ke dalam sistem pemerintahannya yang berbeda dengan daerah otonomi lainnya. Otonomi Khusus Papua berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 juga mengatur kewenangan dan format khusus itu. Kebijakan otonomi khusus selain mengatur adanya kewenangan khusus (asimetris), juga memberi peluang bagi diadopsinya karakteristik lokal ke dalam sistem pemerintah lokal dalam rangka negara kesatuan. Kewenangan khusus adalah pemberian kewenangan yang lebih luas kepada provinsi. Pengakuan terhadap orang asli Papua dan penduduk Papua sebagai subyek utama otonomi khusus, memberi peluang bagi masuknya unsur-unsur lokal (tradisi dan nilai-nilai masyarakat lokal) ke dalam sistem pemerintahan lokal. (Andy Ramses M/Jurnal Ilmu Pemerintahan 2006).

Kehadiran Otsus Papua harus diakui bahwa merupakan pemberian dari Pemerintah (pusat) walau saat itu terjadi penolakan oleh masyarakat Papua di Gedung Olahraga Jayapura dengan satu kata “mereka berdiri dan balik kanan meninggalkan GOR tersebut”, maka seharusnya hal ini menjadi catatan tersendiri bagi Pemerintah dalam mengimplementasikan OTSUS Papua. Lain halnya dengan OTSUS Aceh lahir dari sebuah kesepahaman yang disepakati dalamMoU Helsinkin 15 Agustus 2005 Antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang kemudian dalam kesepakatan tersebut UU Otonomi Khusus NAD harus diganti dengan UU baru “Pemerintahan Aceh”. Format Pemerintahan Khusus melalui UU OTSUS Papua menghadirkan MRP sebagai sebagai unsure unsure local (tradisi dan nilai nilai masyarakat local) ke dalam system pemerintahan local. Maka badan perwakilan di propinsi lain Indonesia yang hanya terdiri dari satu kamar (DPRD), di Provinsi Papua terdapat badan perwakilan dengan system dua kamar (bi-cammeral), yaitu DPRP dan MRP. DPRP adalah perwakilan politik yang merupakan representative partai-partai yang memperoleh kursi dalam pemilihan umum, sedangkan MRP adalah representative cultural orang asli Papua. Namun dalam pelaksanaanya kehadiran MRP terlambat hadir (setelah 3 tahun pelaksanaan otsus) dalam awal implementasi otsus di papua karena terjadinya tarik ulur para kepentingan di tingkat pusat dan daerah.

Kehadiran MRP di Provinsi Papua dalam kenyataannya masih diabaikan sebagai bagian dari format khusus pemerintahan provinsi Papua, lembaga tersebut selalu dianggap sebagai lembaga adat semata inilah awal kesalahan yang dilakukan oleh para elite pemerintah baik di pusat dan daerah. Padahal MRP menurut pasal pasal 20, 21 dan 22 UU OTSUS Papua juga menjadi badan legislative karena memiliki kewenangan legislasi, pengangkatan/pemilihan pejabat, hak pengawasan, dan sebagai lembaga konsultatif. Kewenangan legislative MRP pada pasal 20 huruf c bahwa MRP memberi pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus). Ketentuan ini bermakna bahwa persetujuan itu mengikat dalam arti bahwa Perdasus hanya dapat diberlakukan jika telah mendapat persetujuan MRP; Kewenangan Pemilihan Pejabat, pasal 20 huruf a dan b MRP mempunyai tugas dan wewenang memberi pertimbangan dan persetujuan bakal calon Gubernur/wagub, pasal 28 bahkan mewajibkan seleksi dan rekruitmen dalam partai politik meminta pertimbangan MRP sehinggga ketentuan ini memberi kewenangan pada MRP dalam proses seleksi pejabat, tidak hanya pada jabatan eksekutif dan legislative tetapi juga dalam partai politik; Hak Pengawasan, pasal 21 huruf f memberi kewenangan kepada MRP dapat meminta peninjauan kembali perdasus dan keputusan gubernur yang dinilai bertentangan dengan perlindungan orang asli papua, Kewenangan Konsultatif, dari sudut pembentukan dan pelaksanaan kebijakan, MRP juga berkedudukan sebagai lembaga konsultatif lihat pasal 20 huruf a,b dan c, d serta f maka MRP berkedudukan sebagai lembaga konsultatif dalam hal tertentu kepada gubernur dan DPRP.

Perjalanan Otsus papua tidaklah mulus dan tidak sesuai yang di gembar gemborkan saat rancangan dan sosialisasi otsus papua yang sejak awal oleh beberapa pihak mengatakan bahwa otonomi khusus “inilah solusi yang terbaik, inilah jembatan emas bagi orang papua” dan lain-lain. Disaat otsus papua mulai dilaksanakan tanpa disadari Pemerintah (pusat) mulai mencederai dengan menghidupkan kembali pemekaran Provinsi Irian Jaya Barat tanpa menghargai UU Otsus bagi Papua (Pada tanggal 27 Januari 2003 Presiden Megawati SoekarinoPutri mengeluarkan Inpres No 1 Tahun 2003 tentang percepatan pelaksanaan Undang-undang Nomor 45 Tahun 1999 yaitu pembentukan Propinsi Irian Jaya Barat, Irian Jaya Tengah, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong), padahal disisi lain pemerintah sedang berusaha mengembalikan rasa kepercayaan rakyat papua kepada pemerintah dan pemerintah lupa akan defenisi Otonomi Khusus –inilah sebuah dilemma-. Disisi lain saat itu Pemerintah belum juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Lembaga MRP. Saat kehadiran MRP melalui Peraturan Pemerintah (PP) No 54 Tahun 2004 tentang Pembentukan Majelis Rakyat Papua, mulai bekerja dengan semangat yang mengebu-ngebu dengan mempersiapkan Raperdasus tentang lambang daerah, bendera dan lagu yang akhirnya dipatahkan oleh Pemerintah pusat dengan mengeluarkan PP nomor 77 tahun 2007 tentang Lambang Daerah.Disisi ini penulis melihat bahwa MRP telah melukai dirinya sendiri sebelum benar benar kuat untuk efektif, dengan kata lain saat itu MRP bagai membuat sebilah pisau dan menyerahkan kepada pusat untuk menusuk MRP kembali. Padahal disisi lain ada hal yang lebih penting untuk di lakukan oleh MRP saat itu yaitu mempersiapkan berbagai usulan baik PP, Perdasus menyangkut mekanisme kerja antar lembaga (MRP, Gubernur dan DPRP), defenisi orang asli papua, bagaimana pemanfaatan dana otsus bagi orang asli papua dan lain lain. Sebuah langkah awal yang akhirnya melemahkan MRP sendiri. Untuk melegalkan kebijakannya pemerintah (pusat) melakukan perubahan regulasi untuk merevisi UU no 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dengan “terburu-buru” agar Provinsi Irian Jaya Barat (baca Papua Barat) menjadi bagian dari UU 21/2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua dengan hanya merubah kalimat “… yang di maksud dengan Provinsi Papua adalah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat” (Provinsi Papua sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya dan Provinsi Papua Barat dulu Provinsi Irian Jaya Barat). Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua dirubah menjadi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2008) tanpa melihat pasal pasal lain yang harus juga direvisi karena perubahan pelaksanaan pemerintahan di Indonesia salah satunya tentang pilkada gubernur dari di pilih oleh DPRD (DPRP) menjadi pemilihan langsung. Sungguh sebuah pembelajaran tentang system pemerintahan yang salah telah diperlihatkan kepada rakyat papua.

Semangat pemekaran daerah bergulir dengan cepat sejalan dengan otsus bagi papua yang sedang berjalan terseok-seoknya. Kembali lagi Pemerintah Pusat melupakan uu otsus papua dan tanpa mempertimbangkan efektifitas otsus papua. Tahun ke 9 (Sembilan) dari 25 tahun Otsus bagi Papua telah menghasilkan 2 provinsi yaitu Provinsi Irian Jaya Barat kemudian menjadi Provinsi Papua Barat dengan 8 kabupaten dan 1 kota sedangkan Provinsi Papua dengan 28 kabupaten 1 kota, sungguh jumlah yang sangat fantastic bila dikorelasikan dengan defenisi dan criteria pemekaran otonom baru –perlu menjadi catatan dan koreksi bagi pemerintah-. Otonomi Khusus Papua telah dikadarkan dalam nilai uang, tanpa melihat bahwa pemberian otsus bagi papua adalah jalan tengah untuk merekatkan kembali kesatuan nasional dan merajut kembali integrasi bangsa, maka hak dan martabat orang asli papua adalah hal utama dalam pengimplementasian otonomi khusus bagi papua. Semakin hari otsus papua benar benar dikadarkan dalam nilai uang sehingga menjawab segala persoalan di papua selalu dengan mudah dijawab bahwa pemerintah telah mengalokasikan dana besar bagi papua dibandingkan dengan daerah lain. Tetapi apakah pemerintah tidak berpikir bahwa Otsus bagi Papua adalah Kegagalan pemerintahan dan ketidakadilan yang berlangsung cukup lama pada masa lalu ? Sangat tidak etis dan tidak berkorelasi bila dana otsus dianggap sebagai diskriminasi terhadap daerah lain. Timbul pertanyaan : Apakah daerah lain merasakan ketidakadilan yang papua rasakan dimasa lalu ? Dan sungguh dangkalnya bila Otonomi Khusus Papua dikadarkan dengan Uang!

Saat ini MRP kembali menggulir “bola Panas” yaitu SK MRP nomor 14 tahun 2009 yang sempat menunda pilkada di papua selama 60 hari namun kembali lagi langkah ini menemui jalan buntu setelah mendapat penolakan dari pemerintah pusat (Keputusan penolakan terhadap SK MRP Nomor 14/2009 dilakukan setelah Menteri Politik Hukum dan Keamanan Joko Santoso, Gubernur Papua Barnabas Suebu, Panglima Komando Daerah Militer XVII/Cenderawaih Mayor Jenderal Hotma Marbun, dan Kepala Kepolisian Daerah Papua Irjen Bekto Suprapto menggelar pertemuan di Jakarta. “Mereka beralasan SK ini ditolak karena tidak sesuai dengan UU Otsus Papua no 21/2001,” ungkapnya.Dengan adanya penolakan ini, maka 26 kabupaten dan kota di Papua dan Papua Barat tetap melaksanakan pemilukada tahun ini, dengan mengacu kepada UU no 32 tahun 2004 tentang tatacar pemilihan kepala daerah.         
Sehingga SK 14 MRP Tahun 2008 yang telah menjadi bola panas akan menjadi liar bila tidak dengan arif dan bijaksana seluruh pihak terutama pemerintah (pusat) menelaah dan mengembalikan kepada Arti dari sebuah Otonomi Khusus.

Apakah “bola panas” akhirnya menjadi geliat terakhir MRP dalam
Otonomi Khusus Papua –Entahlah- Semoga Rakyat Papua
tidak menjadi korban lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar