http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/tong-pu-tanah/4953-cokelat-nimboran-sejak-belanda.html
JUBI---Saat ini pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan program agropolitan dengan kakao sebagai komoditas andalan. Namun, sesungguhnya Distrik Nimboran sudah dibuka sebagai kawasan perkebunan cokelat di era pemerintahan Belanda. Juga koperasi berbasis rakyat.
Masyarakat Nimboran, Kabupaten Jayapura telah lama mengenal tanaman cokelat. Mereka berhasil mengekspor sampai ke Belanda, khususnya ke pabrik cokelat Van Houten. Apalagi jenis kakao setempat berkualitas tinggi dan tahan hama penyakit.
“Saat ini jenis kakao di Zaman Belanda dicari lagi karena kualitasnya bagus,”tutur John Boekorsjom yang pernah meneliti kakao di kawasan Nimboran untuk tesis Pasca- sarjana di Fakultas Sosial,Universitas Gajah Mada kepada Jubi pekan lalu.
Menurut dia, sejak Zaman Belanda jenis kakao yang dikembangkan mampu menembus pasaran ekspor hingga ke Negeri Kincir Angin, sebagai bahan baku pabrik cokelat merk Van Houten.
Kini pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan Program Agropolitan.Padahal,di kalngan masyarakat Nimboran di Lembah Grime, Pemerintah Belanda pernah mengembangkan proyek perkebunan cokelat dengan bantuan dana dari masyarakat Ekonomi Eropa.
Namun proyek akhirnya terhenti karena wilayah jajahan Belanda, Nederlands Nieuw- Guinea (kini Provinsi Papua dan Papua Barat) bergabung dengan Indonesia.
Begitu pula nasib Koperasi Java Datum milik masyarakat juga tak aktif karena dianggap sisa-sia penjajah yang sudah tidak berguna lagi.
Padahal, kata Agustinus Wadi, warga Kampung Belitung,Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, telah dikembangkan pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea pada 1958 sebagai kawasan perkebunan cokelat berbasis masyarakat.
“Tempat pembibitan cokelat cukup luas; ada sekitar 10 hektare yang kini tak terurus. Saat Belanda angkat kaki dari tanah Papua, kebun cokelat dan Koperasi Jawa Datum milik tinggal nama,”ujar Agustinus Wadi kepada Jubi beberapa waktu lalu.
Ia menuturkan, saat ini hanya sisa-sisa tanaman cokelat dan traktor tua peninggalan Belanda menjadi saksi bisu kejayaan buah cokelat yang pernah membuat tenar daerah ini di Singapura dan Belanda.
“Orang tua saya dulu petani cokelat; pekarangan rumah kami menjadi tempat pembibitan,”ujar Agustinus, pendeta Gereja Bethel di Kampung Belitung.
Pendapat senada dikemukan Edison Roberth Giay, aktivis LSM asal wilayah Nimboran. Katanya, perkebunan cokelat juga menyebar di kampung-kampung,seperti Sanggai, Sarmai Krang Atas, Sarmai dan Krang Bawah.
Nama “Koperasi Jawa Datum diambil dari bahasa Nimboran, yang berarti “ sedang bertumbuh,”tegas Giay kepada Jubi.
Menurut Agustinus,jenis cokelat yang diintrodusir Belanda lima buah bisa menghasilkan satu kilogram cokelat basah.“Berbeda dengan cokelat sekarang; 10 buah baru bisa mencapai satu kilogram cokelat basah,”tegas Agustinus,yang juga petani coklat di Kampung Belitung.
Wadi memaparkan, selama 40 tahun menjadi petani cokelat,ada empat jenis tanaman cokelat yang diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Jayapura.
“Kini masyarakat masih menanam cokelat, tetapi tidak seserius zaman orangtua kami,”tegas Wadi.
Rongsokan traktor peninggalan Belanda masih bisa ditemui di pekarangan rumah Johny Wuong, warga di Sarmai Krang.
“Traktor ini dulu dipakai untuk mengolah lahan-lahan cokelat,”tutur Octovianus, warga Sarmai Krang.
Setelah Papua berintegrasi, Irian Jaya Joint Development Foundation Program (IJJDF) juga memasukkan bibit-bibit cokelat, namun hanya bertahan selama beberapa tahun.”
“Cokelat hasil introduksi IJJDF cukup bagus, tetapi hanya sampai lima kali panen; memasuki tahun ke enam produktivitasnya menurun,” tegas Agus.
Berdasarkan data Irian Jaya Development Foundation 1969-1994, di Genyem, ibukota Distrik Nimboran, terdapat 493 nasabah cokelat dan sapi dengan total kredit sebesar Rp 150.572.000. Kegiatan IJJDF sendiri sudah berakhir sekitar akhir 1990-an. Kini bekas-bekas bangunan pengering dan penjemuran biji cokelat rusak tak terurus.
Pemerintah Belanda mulai merencanakan wilayah Nimboran sebagai kawasan pertanian terpadu perkebunan cokelat berbasis masyarakat dimulai sejak 1946.
Tiga tahun kemudian, yakni 1949, Koperasi Java Datum dibentuk.Johanes Hembring dan Philemon Jambejapdi dipercayakan sebagai pengurus.Mereka mendapat pengarahan dan petunjuk langsung dari Dr.W.J.H.Kouwenhoven.
Pengerjaan proyek Nimboran, yang dimulai 1956, dipercayakan kepada South Pacific Research Council di Noumea, Caledonia Baru.
Melalui proyek ini, penduduk Nimboran dilibatkan dalam pusat pertanian atau pertanian komunal (nuclear farm) di padang alang-alang. Padang seluas 16 hektare di Kampung Sarmai Krang ini awalnya lokasi perburuan bersama tigakampung.
Traktor dan alat-alat lain yang digunakan dalam pengerjaan lokasi perkebunan merupakan bantuan dari South Pacific Comission.
Pemimpin dan para pekerja proyek adalah orang-orang Nimboran sendiri. Kecuali seorang teknisi traktor asal dari Biak.
Penduduk Nimboran yang bekerja di proyek ini diberikan upah.Sebagian hasil dibagi-bagikan. Upah bisa dibayar secara angsuran. Sebagian lebih dulu,sebagiannya lagi disusulkan setelah penjualan seluruh hasil.
Selain cokelat, kopi, kacang tanah, jagung, kacang kedela, beras ketan dan padi gogo juga menjadi tanaman andalan.
Kesulitan utama saat itu adalah pemasaran hasil. Sehingga pemerintah bertindak sebagai pembeli melalui Koperasi Rakyat Java Datum.
Koperasi ini bisa menampung hasil pertanian dan perkebunan, terutama cokelat.
“Tak cuma cokelat,ampung-kampung,seperti Ombrop, Benyom dan Berap menjual anyaman dari rotan dan banbu ke Koperasi Java Datum,” ”tutur Alexander Griapon, mantan Kepala Dinas Pariwisata, Kabupaten Jayapura belum lama ini.
Proyek Nimboran saat itu mengalami hambatan karena keterbatasan tenaga buruh. Hampir sebagian besar pemuda-pemuda Nimboran bekerja di Kota Hollandia (kini, Jayapura).
Jadi, sejak 1953-1954, pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea telah merencanakan tanaman perdagangan (cash crop)dengan peralatan modern (untuk ukuran saat itu).
Tak heran, masyarakat di Lembah Grime sudah mengenal mekanisasi pertanian sejak zaman Belanda.
Tentu saja, program agropolitan yang diusung pemerintah Kabupaten Jayapura tidak mengejutkan masyarakat Nimboran.Bagi mereka, barangkali cuma “ketok-tular” dari proyek Nomboran di era Belanda dulu.
Yang jelas, harga komoditas cokelat yang saat ini berubah-ubah nyaris melorotkan semangat mengembangkan tanaman ini. Harga komoditas ini lebih banyak ditentukan para tengkulak.
“Dulu zaman Belanda, kitorang bisa jual cokelat sesuai harga pasaran internasional; Koperasi Java Datum siap menampung hasil bumi dan kerajinan rakyat,”ujar salah seorang warga Nimboran berusia lanjut.
Menurut Kepala Litbang Kabupaten Jayapura, Alexander Griapon, wilayah agropolitan barat, seluas 1021 kilometer persegi. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan PegununganUlar-Iwalom (Demta-Yokari),dataran rendah Muaif Kaptiau, sebelah Timur berbatasan dengan perbukitan Kwansu-Ibub (Kemtuk) dan punggung perbukitan Kalisu (Gresi). Sebelah selatan berbatasan dengan daerah Pegunungan Mawer Srebo(Unurum Guay) dan sebelah barat berbatasan dengan Nimbontong (Unurum Guay).
Wilayah ini akan dikembangkan menjadi wilayah agropolitan dengan komoditas tanaman cokelat dan buah-buahan lainnya.
Mungkin kendalanya, bagaimana program ini dikembangkan sesuai karakter dan daya serap masyarakat setempat. Pasalnya, sejak zaman Belanda sampai sekarang tidak dipikirkan pemasaran.
Kerap tidak ada harga pasti yang memungkinkan keuntungan.Semangat petani pun menurun.Ada yang malah berlaih ke tanaman lain. Bahkan kalau harga cokelat merosot jauh, perkebunan cokelat ditelantarkan.Walau, cokelat masih menjadi komoditas topangan ekonomi keluarga.
Beberapa tahun lalu, misalnya, warga di Distrik Nimbokrang dan Nimboran membutuhkan ribuan bibit.
Distrik Nimbokrang dan Namblong mendapat jatah dua jenis bibit, yang disemaikan di lokasi dan bibit siap disalurkan sebanyak 30 ribu.
Yang sulit adalah Distrik Depapre yang mengalami kekeringan. (DAM/dari berbagai sumber)
“Saat ini jenis kakao di Zaman Belanda dicari lagi karena kualitasnya bagus,”tutur John Boekorsjom yang pernah meneliti kakao di kawasan Nimboran untuk tesis Pasca- sarjana di Fakultas Sosial,Universitas Gajah Mada kepada Jubi pekan lalu.
Menurut dia, sejak Zaman Belanda jenis kakao yang dikembangkan mampu menembus pasaran ekspor hingga ke Negeri Kincir Angin, sebagai bahan baku pabrik cokelat merk Van Houten.
Kini pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan Program Agropolitan.Padahal,di kalngan masyarakat Nimboran di Lembah Grime, Pemerintah Belanda pernah mengembangkan proyek perkebunan cokelat dengan bantuan dana dari masyarakat Ekonomi Eropa.
Namun proyek akhirnya terhenti karena wilayah jajahan Belanda, Nederlands Nieuw- Guinea (kini Provinsi Papua dan Papua Barat) bergabung dengan Indonesia.
Begitu pula nasib Koperasi Java Datum milik masyarakat juga tak aktif karena dianggap sisa-sia penjajah yang sudah tidak berguna lagi.
Padahal, kata Agustinus Wadi, warga Kampung Belitung,Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, telah dikembangkan pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea pada 1958 sebagai kawasan perkebunan cokelat berbasis masyarakat.
“Tempat pembibitan cokelat cukup luas; ada sekitar 10 hektare yang kini tak terurus. Saat Belanda angkat kaki dari tanah Papua, kebun cokelat dan Koperasi Jawa Datum milik tinggal nama,”ujar Agustinus Wadi kepada Jubi beberapa waktu lalu.
Ia menuturkan, saat ini hanya sisa-sisa tanaman cokelat dan traktor tua peninggalan Belanda menjadi saksi bisu kejayaan buah cokelat yang pernah membuat tenar daerah ini di Singapura dan Belanda.
“Orang tua saya dulu petani cokelat; pekarangan rumah kami menjadi tempat pembibitan,”ujar Agustinus, pendeta Gereja Bethel di Kampung Belitung.
Pendapat senada dikemukan Edison Roberth Giay, aktivis LSM asal wilayah Nimboran. Katanya, perkebunan cokelat juga menyebar di kampung-kampung,seperti Sanggai, Sarmai Krang Atas, Sarmai dan Krang Bawah.
Nama “Koperasi Jawa Datum diambil dari bahasa Nimboran, yang berarti “ sedang bertumbuh,”tegas Giay kepada Jubi.
Menurut Agustinus,jenis cokelat yang diintrodusir Belanda lima buah bisa menghasilkan satu kilogram cokelat basah.“Berbeda dengan cokelat sekarang; 10 buah baru bisa mencapai satu kilogram cokelat basah,”tegas Agustinus,yang juga petani coklat di Kampung Belitung.
Wadi memaparkan, selama 40 tahun menjadi petani cokelat,ada empat jenis tanaman cokelat yang diperkenalkan kepada masyarakat di Kabupaten Jayapura.
“Kini masyarakat masih menanam cokelat, tetapi tidak seserius zaman orangtua kami,”tegas Wadi.
Rongsokan traktor peninggalan Belanda masih bisa ditemui di pekarangan rumah Johny Wuong, warga di Sarmai Krang.
“Traktor ini dulu dipakai untuk mengolah lahan-lahan cokelat,”tutur Octovianus, warga Sarmai Krang.
Setelah Papua berintegrasi, Irian Jaya Joint Development Foundation Program (IJJDF) juga memasukkan bibit-bibit cokelat, namun hanya bertahan selama beberapa tahun.”
“Cokelat hasil introduksi IJJDF cukup bagus, tetapi hanya sampai lima kali panen; memasuki tahun ke enam produktivitasnya menurun,” tegas Agus.
Berdasarkan data Irian Jaya Development Foundation 1969-1994, di Genyem, ibukota Distrik Nimboran, terdapat 493 nasabah cokelat dan sapi dengan total kredit sebesar Rp 150.572.000. Kegiatan IJJDF sendiri sudah berakhir sekitar akhir 1990-an. Kini bekas-bekas bangunan pengering dan penjemuran biji cokelat rusak tak terurus.
Pemerintah Belanda mulai merencanakan wilayah Nimboran sebagai kawasan pertanian terpadu perkebunan cokelat berbasis masyarakat dimulai sejak 1946.
Tiga tahun kemudian, yakni 1949, Koperasi Java Datum dibentuk.Johanes Hembring dan Philemon Jambejapdi dipercayakan sebagai pengurus.Mereka mendapat pengarahan dan petunjuk langsung dari Dr.W.J.H.Kouwenhoven.
Pengerjaan proyek Nimboran, yang dimulai 1956, dipercayakan kepada South Pacific Research Council di Noumea, Caledonia Baru.
Melalui proyek ini, penduduk Nimboran dilibatkan dalam pusat pertanian atau pertanian komunal (nuclear farm) di padang alang-alang. Padang seluas 16 hektare di Kampung Sarmai Krang ini awalnya lokasi perburuan bersama tigakampung.
Traktor dan alat-alat lain yang digunakan dalam pengerjaan lokasi perkebunan merupakan bantuan dari South Pacific Comission.
Pemimpin dan para pekerja proyek adalah orang-orang Nimboran sendiri. Kecuali seorang teknisi traktor asal dari Biak.
Penduduk Nimboran yang bekerja di proyek ini diberikan upah.Sebagian hasil dibagi-bagikan. Upah bisa dibayar secara angsuran. Sebagian lebih dulu,sebagiannya lagi disusulkan setelah penjualan seluruh hasil.
Selain cokelat, kopi, kacang tanah, jagung, kacang kedela, beras ketan dan padi gogo juga menjadi tanaman andalan.
Kesulitan utama saat itu adalah pemasaran hasil. Sehingga pemerintah bertindak sebagai pembeli melalui Koperasi Rakyat Java Datum.
Koperasi ini bisa menampung hasil pertanian dan perkebunan, terutama cokelat.
“Tak cuma cokelat,ampung-kampung,seperti Ombrop, Benyom dan Berap menjual anyaman dari rotan dan banbu ke Koperasi Java Datum,” ”tutur Alexander Griapon, mantan Kepala Dinas Pariwisata, Kabupaten Jayapura belum lama ini.
Proyek Nimboran saat itu mengalami hambatan karena keterbatasan tenaga buruh. Hampir sebagian besar pemuda-pemuda Nimboran bekerja di Kota Hollandia (kini, Jayapura).
Jadi, sejak 1953-1954, pemerintah Nederlands Nieuw-Guinea telah merencanakan tanaman perdagangan (cash crop)dengan peralatan modern (untuk ukuran saat itu).
Tak heran, masyarakat di Lembah Grime sudah mengenal mekanisasi pertanian sejak zaman Belanda.
Tentu saja, program agropolitan yang diusung pemerintah Kabupaten Jayapura tidak mengejutkan masyarakat Nimboran.Bagi mereka, barangkali cuma “ketok-tular” dari proyek Nomboran di era Belanda dulu.
Yang jelas, harga komoditas cokelat yang saat ini berubah-ubah nyaris melorotkan semangat mengembangkan tanaman ini. Harga komoditas ini lebih banyak ditentukan para tengkulak.
“Dulu zaman Belanda, kitorang bisa jual cokelat sesuai harga pasaran internasional; Koperasi Java Datum siap menampung hasil bumi dan kerajinan rakyat,”ujar salah seorang warga Nimboran berusia lanjut.
Menurut Kepala Litbang Kabupaten Jayapura, Alexander Griapon, wilayah agropolitan barat, seluas 1021 kilometer persegi. Di sebelah utara berbatasan langsung dengan PegununganUlar-Iwalom (Demta-Yokari),dataran rendah Muaif Kaptiau, sebelah Timur berbatasan dengan perbukitan Kwansu-Ibub (Kemtuk) dan punggung perbukitan Kalisu (Gresi). Sebelah selatan berbatasan dengan daerah Pegunungan Mawer Srebo(Unurum Guay) dan sebelah barat berbatasan dengan Nimbontong (Unurum Guay).
Wilayah ini akan dikembangkan menjadi wilayah agropolitan dengan komoditas tanaman cokelat dan buah-buahan lainnya.
Mungkin kendalanya, bagaimana program ini dikembangkan sesuai karakter dan daya serap masyarakat setempat. Pasalnya, sejak zaman Belanda sampai sekarang tidak dipikirkan pemasaran.
Kerap tidak ada harga pasti yang memungkinkan keuntungan.Semangat petani pun menurun.Ada yang malah berlaih ke tanaman lain. Bahkan kalau harga cokelat merosot jauh, perkebunan cokelat ditelantarkan.Walau, cokelat masih menjadi komoditas topangan ekonomi keluarga.
Beberapa tahun lalu, misalnya, warga di Distrik Nimbokrang dan Nimboran membutuhkan ribuan bibit.
Distrik Nimbokrang dan Namblong mendapat jatah dua jenis bibit, yang disemaikan di lokasi dan bibit siap disalurkan sebanyak 30 ribu.
Yang sulit adalah Distrik Depapre yang mengalami kekeringan. (DAM/dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar