"Honesty is the Best Policy Politics"

Rabu, 10 Agustus 2011

Stop Bibit, Rawat Cokelat

Friday, 12 February 2010 22:02 administrator Hits: 908
http://tabloidjubi.com/edisi-cetak/jubi-utama/5394-stop-bibit-rawat-cokelat.html

JUBI— Tiga tahun sudah masyarakat  terima bibit cokelat dari pemerintah, mau tolak tapi tidak bisa. Terpaksa terima saja, habis mau bilang apa. Mau tolak  trabisa, ya terima saja toh.
Begitulah ungkapan hati Sekretaris Kampung Gmebs Distrik Nimboran,  Lodewijk Hembring, ketika crew Jubi sempat berkunjung ke kediamannya di Kampung Kuipons Distrik Nimboran pekan lalu.
“Kenapa kitorang tidak bisa memakai bibit sendiri,”tutur Hembring sedikit menggungat program pencanangan pembagian bibit cokelat.
Namun apa mau dikata, di Kampung Gmebs, bibit cokelat sudah diberikan beberapa kali oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Masyarakat terima bibit cokelat mulai 2004, 2005 dan terakhir 2006, praktis selama tiga tahun berturut-turut.
“Sudah 10.000 hektar yang ditanami cokelat oleh 80 KK,” tutur Sekretaris Kampung Gmebs Hembring. Masing-masing Kepala Keluarga(KK) memiliki lahan hanya satu hektar saja sesuai dengan kemampuan  dan jumlah bibit yang diterima.
Karena cokelat hibrida jadi tahun ketiga sudah bisa panen dan satu hektar bisa menghasilkan satu ton atau minimal hanya setengahnya saja.
“Kalau panen kecil karena kemarau bisa hasilkan 500 Kg cokelat basah,”tutur Hembring mantan mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi Ottow dan Geisler (STIE) Kotaraja Jayapura ini.
Saat ini lanjut dia harga cokelat basah di pasaran Genyem seharga Rp  7000,- sedangkan cokelat kering antara Rp 21.000,- sampai Rp 23.000,-. Pendapat Lodewijk dibenarkan pengumpul di Genyem  Daeng  Majid cokelat basah seharga Rp 7000,- dan kering Rp 21.000,-. “Saat ini hasil cokelat tidak seramai sepuluh tahun lalu,” tambah Madjid. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah banyak yang tidak mengelola cokelatnya dan juga sudah banyak pedagang pengumpul dari kota yang datang membeli .
Bagi Alexander Griapon, Kepala Litbang Kabupaten Jayapura sebaiknya pemerintah perlu melakukan evaluasi kembali program pencanangan pembagian bibit. “Saya kira perlu ada program pemeliharaan cokelat dan rawat cokelat,” tegas Griapon.
Pasalnya lanjut dia ada banyak pilihan dalam bertani sehingga kalau ada komoditi yang lebih menguntungkan maka semua ramai-ramai beralih ke tanamanan lain. Akibatnya bibit cokelat yang baru ditanam tak terurus dan terabaikan, masih untung kalau tanaman cokelat bisa tumbuh sendiri tanpa perawatan. Padahal kata dia cokelat hibrida memerlukan banyak input terutama pupuk dan pembersihan lahan secara terus menerus. “Minimal ada perawatan yang kontinu,”tambah dia. Masyarakat juga bisa memperoleh tambahan pengetahuan tambahan dari petugas penyuluh lapangan (PPL) yang biasa bertugas di kampung-kampung. Yang jelas masyarakat harus konsisten menanam cokelat, meski ada komoditi pertanian lain menguntungkan.”Sebaiknya jangan terpengaruh, tetap konsisten,”tutur Griapon sekadar mengingatkan.
Sebaliknya,  Nehemia Iwong warga Kampung Kuipons sedikit bertanya kenapa pemerintah tidak mau membeli bibit cokelat di masyarakat.”Masyarakat juga sudah  punya bibit cokelat sendiri,”jelas Iwong. Lebih lanjut dia menjelaskan bibit peninggalan Belanda  dan juga bibit-bibit cokelat lainnya yang sudah cocok dengan iklim di Nimboran. “Saya heran kenapa dorang tidak bisa beli bibit dari masyarakat,”ujarnya.
Meski ada keberatan dari warga, toh program pembagian bibit tetap berjalan karena cokelat yang diberikan sesuai standar baku mutu.
Alex Griapon mengakui bibit yang diberikan sesuai dengan standar dan mutu yang berlaku di pasaran cokelat di dunia. Memang lanjut dia pihak International Labour Organization (ILO) pernah mengembangkan cokelat peninggalan Belanda di Kemtuk dan Nimboran tetapi sulit untuk memperoleh pasaran atau tidak laku dijual.
Namun Griapon menyarankan sebaiknya cokelat peninggalan Belanda bisa dipakai untuk konsumsi sendiri dan bisa menjadi paket wisata. “Kalau ada turis yang berkunjung ke kampung bisa sekalian membeli cokelat produksi lokal,”tegas Griapon. Apalagi lanjut dia saat ini Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura sedang membangun museum cokelat peninggalan Belanda dan juga monumen Java Datum di dekat lapangan sepak bola Genyem.
Traktor tua peninggalan perkebunan cokelat masyarakat jaman Belanda tertata rapih di dalam sebuah bangunan di dekat rumah keluarga Iwong Kampung Sarmaikrang, Distrik Nimboran. Semula crew Jubi ingin memotret dan merekam gambar video tapi penjaga gedung tak member ijin. “Wah kalau mau foto kami tidak ijinkan,”ujar Mama Iwong tanpa memberikan alas an yang jelas. Terpaksa crew Jubi hanya melihat saja beberapa traktor dan alat pertanian lainnya yang tertata rapih dalam sebuah bangunan terbuka di pinggir jalan menuju Genyem ibukota Distrik Nimboran.
Buah cokelat sendiri di Indonesia telah dikenal sejak 1560, tetapi baru menjadi komoditi yang sangat penting pada 1951. Sedangkan di tanah Papua cokelat baru diperkenalkan kepada masyarakat  lima tahun kemudian pada 1956 di kawasan lembah Grime Distrik Nimboran. Jenis yang pertama sekali ditanam di Indoenesia Criollo, yaitu di daerah Sulawesi Utara yang berasal dari Venezuela.Pada tahun 1888 diperkenalkan bahan tanaman Java Criollo asal Venezuela yang bahan dasarnya adalah kakao asal Sulawesi Utara tersebut, sebagai bahan tanaman tertua untuk mendapatkan bahan tanaman unggul. Sebelumnya pada 1880, juga diperkenalkan bahan tanaman jenis forestero asal Venezeula untuk maksud yang sama. Dari hasil penelitian saat itu, direkomendasikan bahan tanam klon-klon DR, KWC, dan G dengan berbagai nomor. (DR kode dari kebun pohon induk "Djati Renggo", G kode dari "Getas").
Sejalan dengan itu, pengembangan pertanaman kakao di Indonesia, khususnya di Jawa, berjalan dengan pesat. Perkembangannya juga didorong oleh meluasnya penyakit kopi oleh Hemeleia vastatrix, sehingga menyebabkan musnahnya areal pertanaman kopi di Jawa.
Daerah utama pertanaman kakao adalah hutan hujan tropis di Amerika Tengah, tepatnya pada wilayah 180 Lintang Utara sampai 150 Lintang Selatan. Daerah-daerah dari Selatan Meksiko sampai Bolivia dan Brazilia adalah tempat-tempat tanaman kakao tumbuh sebagai tanaman liar. Beberapa spesies Theobroma yang diketahui antara lain Theobroma bicolor, Theobroma sylvestris, Theobroma pentagona, dan theobroma augustifolia, merupakan sepesies yang pada awalnya juga dimanfaatkan sebagai penghasil biji sebagai campuran.Para pakar pertanian membagi skema pengelompokan jenis kakao tersebut sebagai berikut, Criolo (choiced cacao) terdiri dari Central America Criolo dan South American Criolos. Forastero(bulk cacao) Lower Amazone Farastero dan Upper Amazone Hybrids. Trinitario, jenis kakao yang ditanam sekarang ini dan sebagai besar jenis Criolo.
Mengingat kondisi iklim Papua yang cocok bagi komoditi cokelat, pemerintah Belanda menetapkan tanaman ini sebagai tanaman penting dibandingkan tanaman lainnya. Pemerintah Belanda mengakui tanah Papua sangat potensial untuk mengembangkannya sebagai komoditi pertanian ekspor. Untuk memperkuat komoditi ekspor, Gubernur Nederlands Nieuw Guinea Jan Van Baal mengeluarkan ordonanti kakao pada 1955. Adapun isi ordonansi tersebut menurut John Boekorsjom dalam tesisnya berjudul Evaluasi Pelaksanaan Program Pengembangan Kakao Rakyat Dengan Pola Pendampingan di Kecamatan Kemtuk, Kabupaten Jayapura, Program Pasca Sarjana Universita Gajah Mada, 2005 menyebutkan perlindungan terhadap pengursakan kakao baik oleh manusia maupun karena terkena hama penyakit. Peraturan tersebut dilanjutkan pula dengan peraturan tentang Usaha Tani (Agrarische Streek Projecten) yang mengatur usaha untuk mendapatkan hak milik atas dua hektar lahan yang digunakan untuk tanaman perdagangan.
Pemerintah Belanda mulai mengusahakan tanaman perkebunan di Papua sejak 1952 dan tanaman yang diperkenalkan antara lain kelapa, pala, kopi dan cengkeh. Dari segi usaha perkebunan di Papua dibagi menurut tiga kelompok yaitu perkebunan rakyat, perkebunan swasta besar dan perusahaan perkebunan negara.
Selama ini kakao atau cokelat yang ditanam oleh masyarakat dan perusahaan kakao terdapat dua jenis antara lain, di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Yapen Waropen jenis kakao yang berasal dari Pusat Penelitian Pertanian Kravat(New Britain, PNG Pengembangan Australia). Sedangkan jenis lainnya terdapat di Kabupaten Manokwari yaitu persilangan dengan varitas cokelat dari Jawa diperkiarakan Djati Runggo-DR.
Menurunnya areal tanaman kakao di Papua karena petani merasa harga kakao basah tidak menarik dan harganya sangat rendah dan berubah-ubah (fluktuasi). Penebangan kakao terjadi karena perluasan kota dan pelebaran jalan
Karena itu tugas pemerintah sebenarnya bukan sekadar memberikan bantuan bibit tetapi harus mengambil kebijakan untuk menetapkan harga kakao agar memberikan keuntungan bagi Petani Kakao. (Ronald Manufandu/DAM dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar